Karangan bunga mawar berwarna putih diletakkan Ivy di atas makam kedua orang tuanya. Tak banyak bicara, Ivy hanya menyapa singkat saat datang, selanjutnya hanya duduk diam sambil memutar kembali memori-memori bersama kedua orang tuanya saat keduanya masih hidup.
Ironis ketika rencana berlibur justru berakhir di pemakaman. Anehnya, Ivy tidak bisa menangis. Hatinya terasa kosong, tapi air matanya tidak menetes sama sekali. Rasa sesak yang biasanya selalu dirasakan saat sedih pun juga tidak dia rasakan. Dia hanya merasa… hampa.
Beberapa jam berlalu, Ivy berdiri dan berbalik, meninggalkan rumah terakhir kedua orang tuanya menuju ke bibinya yang sedang berdiri di bawah pohon linden; berhadapan tepat dengan makam kedua orang tuanya.
“Kau yakin tidak ingin diantar sampai ke rumah?” Bibi Jen kembali menanyakan hal serupa kepada Ivy berkali-kali.
Ivy memeluk bibinya erat, kemudian tersenyum saat menatap wajah bibinya itu setelah melepas pelukannya. “Aku baik-baik saja, Bibi tidak perlu khawatir.”
Bibi Jen masih menatap Ivy. Sebagai seseorang yang saat ini menjadi wali sah dari Ivy, dia benar-benar tidak tega meninggalkannya sendirian di kota ini. “Ikut bibi saja ke Ohio, ya? Frey pasti senang kalau kau tinggal bersama dengan kami.”
Ivy tersenyum. Frey memang sepupunya yang sangat baik. Hubungan mereka sangat dekat. Mungkin, karena keduanya adalah sama-sama anak tunggal. Dibandingkan sebagai sepupu, mereka lebih terasa seperti saudara kandung yang terpisahkan.
Ivy menggeleng, “Aku harus menyelesaikan kuliahku di sini. Lain kali aku akan berkunjung ke sana. Aku janji.” Ivy berusaha untuk terus meyakinkan bibinya agar tidak merasa bersalah karena meninggalkannya sendirian di sini, Los Angeles.
“Baiklah, tapi pastikan untuk terus menghubungi bibi, ya. Selain itu, uang asuransi sudah bibi urus saat kau koma. Semuanya ada ke rekening pribadimu. Bibi tidak akan mencampuri urusan itu. Kau bisa menyimpannya untuk kebutuhanmu sendiri. Setiap bulan bibi juga akan selalu mengirimmu uang untuk kuliah dan kebutuhan sehari-hari. Meskipun tidak sebanyak yang kau terima sebelumnya dari orang tuamu, tapi bibi tidak akan pernah membiarkanmu kelaparan dan kesusahan.”
Ivy menatap lembut pada bibinya. “Bibi tidak perlu seperti itu, aku bisa bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhanku. Aku tidak mau merepotkanmu.”
Bibi Jen menggeleng cepat. “Kau tidak boleh menolaknya. Kalau kau merasa keberatan dengan itu, kau bisa mengembalikannya nanti saat kau sudah bekerja dengan benar. Saat ini, kau hanya harus fokus dengan kuliah dan kebahagiaanmu. Okay?”
Tentu saja Ivy harus mengangguk agar bibinya bisa tenang saat meninggalkannya sendirian di kota ini. “Okay, aku akan menuruti semua ucapan Bibi. Pergilah, taksimu sudah menunggu dari tadi. Sampaikan salamku para Frey.”
Keduanya saling berpelukan, kemudian berpisah setelah melambaikan tangan. Ivy menghela napas dalam. Sekali lagi, dia menoleh pada makam kedua orang tuanya, lalu berbalik dan melangkah keluar area pemakaman.