Aroma masakan menggelitik hidung Ken yang baru saja mengerang di balik selimut. Tidurnya nyenyak, bahkan terlalu nyenyak bagi seorang lelaki yang tertidur di kamar seorang gadis yang baru dikenalnya. Dia bahkan hampir memejamkan matanya lagi jika saja tidak terdengar suara sendok jatuh di lantai.
“Kau biasa masak pagi?” tanya Ken, begitu menjumpai Ivy di dapur.
Ivy menoleh, kemudian melanjutkan apa yang dari tadi sedang dia kerjakan; memanggang roti dan membuat omelet. Sarapan sederhana baginya yang tidak bisa memasak. “Duduklah, aku tidak menjamin makanan ini layak atau tidak, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk membuatkanmu sarapan.”
Ivy meletakkan sepiring omelet dan bacon panggang, serta satu keranjang kecil roti panggang yang baru saja dia selesaikan.
“Apakah aku boleh terus sarapan di sini?” Ken mengambil satu roti dari keranjang, lalu meletakkannya di atas roti sebelum dia meraih butter dan mengolesnya di permukaan roti.
“Hanya hari ini. Aku tidak biasa sarapan.” Ivy menjawab dengan nada ketus.
Ken terkekeh mendengarnya. “Kenapa kau tidak membangunkanku semalam? Kau tidur di mana?” Ken pura-pura terkejut sambil menatap Ivy. “Jangan bilang kalau kau—”
“Jaga pikiranmu! Aku tidur di situ!” tunjuk Ivy pada sofa panjang di ruang depan, dekat dengan posisi Ken semalam terjatuh.
Ken mantap cemas pada Ivy setelah dia mengalihkan pandangannya dari sofa. “Kau baik-baik saja?”
Ivy menyipitkan matanya saat menatap Ken. “Kenapa? Kau kira aku akan trauma karena kejadian semalam?”
Ken mengangguk, “Biasanya, seorang wanita rentan trauma setelah mengalami kejadian mengerikan seperti itu.”
Ivy tersenyum tipis. “Aku sudah pernah melewati hal yang lebih dari itu. Kejadian semalam tidak akan mengguncangku.”
Perkataan Ivy membuat Ken penasaran. Namun karena rasa empati, pria itu memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut lagi. Meskipun begitu, pada akhirnya ucapan Ivy justru membuatnya semakin penasaran dengan apa yang gadis itu pikirkan.
“Jangan naik ke sini lagi setelah ini,” ucap Ivy setelah Ken keluar dari tempatnya.
Tidak jadi menuruni anak tangga, Ken justru kembali ke hadapan Ivy dengan raut protes. “Kau tadi bilang apa?”
“Jangan naik ke atas lagi.” Ivy mengulangi ucapannya.
“Kau tidak sungguh-sungguh dengan ucapanmu, kan?” Ken membenamkan kedua tangannya di saku celana jogernya dengan kening mengerut dan mata menyipit, menatap tajam pada Ivy. “Maksudku, aku terluka karena menolongmu, tapi kau mengatakan hal yang kejam padaku. Bukankah itu keterlaluan? Justru kau harus merawatku sampai sembuh, bukan mengusirku.”
Ivy mendesah kesal. Tentu saja semua ucapan Ken benar. Hanya saja, Ivy mencoba untuk menghindari interaksinya dengan orang lain. Hal itu membuatnya tidak nyaman.