Desember 2013
Melalui usia seperempat abad, menjadi waktu yang menyeramkan untuk pria lajang sepertiku. Saat ada yang berani dengan lantang menyuarakan keinginan untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi, ada saja yang mencela. Saat memutuskan untuk fokus bekerja dan menunda pernikahan, masih terdengar celaan. Bahkan setelah menikah pun, masih akan ada celah yang tidak luput dari celaan. Sehebat apapun dan se-sukses apapun, tetap tidak akan lepas dari gunjingan mulut manusia-manusia yang sibuk mengawasi kehidupan orang lain.
Mereka lupa dengan jalan hidup mereka sendiri. Melalaikan setiap kritik dan penilaian akan kesalahan selama menjalani hidup, dan memilih untuk melemparkan penilaian serta kritik itu pada kehidupan orang lain. Bahkan rela menjual keburukan hidup orang lain, demi menutupi aib di hidupnya. Sudah merasa paling baik dan suci saja.
Tentu aku pun pernah menjadi pelaku dari manusia-manusia paling suci itu. Sebut saja Andreas, salah satu temanku di bangku SMP yang menjadi korbanku. Tubuhnya yang tambun dan pendek, tidak jarang membuat dia harus menerima siksaan dari lidah tajam teman sekelasnya. Berkali-kali dia menjadi korban perundungan siswa laki-laki, dan hinaan siswa perempuan. Memang tidak pernah ada kekerasan fisik, tapi bukankah lidah selalu lebih tajam dari silet?
Dulu kami masih awam dengan istilah perundungan, yang ada hanya candaan antar teman dekat. Berbekal alibi tersebut, maka setiap tindakan buruk yang aku lakukan pada Andreas menjadi sebuah pembenaran. Alasan teman dekat yang saling bercanda selalu menjadi kilah terbaikku saat dia melapor pada guru.
Tidak apa, hinaan dan ejekan kami pun menjadi motivasi tersendiri untuknya. Dia berhasil menurunkan berat badannya dan menjadi salah satu laki-laki dengan badan paling atletis di kelas kami. Lalu dengan rasa iri atau mungkin dengki, mulut jahatku berulah lagi. Kini aku kembali mengatakan hal buruk tentang betapa buruk tubuh kurusnya.
Apa yang ditanam, maka itu yang dipetik. Setelah berhasil menyakiti sosok Andreas di masa lalu, maka karma itu datang untukku. Memasuki usia 27 tahun, sebagai salah satu manager di perusahaan pengembang alat medis, dan baru beberapa bulan silam menggandeng gelar Magister, tidak membuatku lolos dari gunjingan dan ejekan. Tentu saja, karena hingga di usia ini aku masih memilih untuk sendiri.
“Tunggu apalagi, Tam? Anakku aja udah mau setahun.” cibir Alea dengan menghela napas panjang. Aku hanya menggedikkan bahu, dan menyeruput cepat kopi di meja.
“Masih mengharapkan Alea? Suaminya lebih tampan darimu, jangan harap dia akan meninggalkannya untukmu.” Sahutan asal Yodha dibalas dengan pukulan keras di kepala dari Alea. Yodha hanya bisa meringis dan tersenyum kecut.
“Jangan asal kalau ngomong.” sungut Alea, “Kamu juga Tam, segera cari pasangan! Aku juga bosan ketemu kalian hanya untuk menemani malam minggu kelabumu.”
“Malam minggu siapa yang kelabu? Aku baik-baik saja tanpa kalian.” jawabku kesal.
“Tam, kita udah berteman hampir sembilan tahun. Nggak usah malu kalau memang malam minggumu selalu kelabu. Apalagi sejak ditinggal Helena.” ucap Yodha, dengan nada iba. Tanpa basa-basi, giliranku memukul kencang kepala Yodha. Tidak terima dengan perkataannya yang membahas kembali hal yang telah membuatku gundah beberapa hari ini.
Harus aku hargai sikap dua sahabatku ini. Sebagai satu-satunya orang yang tidak sedang mengisi hati dengan siapapun saat ini, tentu membuat Yodha dan Alea khawatir. Apalagi sudah cukup lama aku berpisah dengan Helena, seharusnya ini waktu yang tepat untukku mencari penggantinya. Setelah mengetahui kenyataan bahwa dia sudah menikah, tidak ada lagi jalan untukku kembali bersamanya.
Terhitung sudah lima hari sejak aku mendengar kabar terakhir Helena. Setelah dengan gagahnya memutuskan untuk datang ke pernikahannya, berharap dengan begitu aku benar-benar bisa merelakannya. Namun, senyum manis dan bahagia yang saat itu terpancar dari wajahnya, justru membuatku gundah. Bahkan sejak perpisahan kami satu tahun lalu, perasaanku padanya masih sama. Tidak mudah melupakan wanita yang telah menemaniku selama 6 tahun.
Bukan salah dia jika memutuskan untuk menikah dan meninggalkanku. Salahku yang sudah menunda niat baiknya untuk membina rumah tangga, dengan alasan masih ingin melanjutkan pendidikan dan belum siap secara finansial. Kenyatannya, aku hanya masih takut melepas masa lajangku.
“Jadi benar seperti itu?” Alea menatapku dalam penuh tanya. Sorot matanya sekali lagi mampu membuatku mengenang masa indah saat menjalin hubungan bersamanya, cinta pertamaku.
“Seperti itu apa?”
“Kamu belum bisa melupakan dia.”
“Siapa yang kamu maksud?”