Januari 2014
“Sudah siap untuk Ujian Nasionalnya? Butuh uang untuk tambahan bimbingan belajar?”
“Mas mau membunuhku? Udah sana jangan ganggu!”
Lemparan bantal melayang tepat di wajahku yang tertawa terbahak-bahak. Sementara Rachel mendorongku keluar dan segera menutup pintu kamarnya. Terdengar bunyi pintu terkunci, tanda tidak boleh ada seorang pun yang masuk. Jika aku berani melanggar, artinya aku harus berhadapan dengan monster remaja wanita yang sedang fokus belajar, ditambah dia sedang PMS.
“Pulang cuma sebulan sekali aja, ribut sama Achel udah mirip perang Badar.” Mama menatap tajam ke arahku yang merebahkan diri di sampingnya, hanyut dalam kenyamanan sofa ruang keluarga.
“Itu bukti cinta Tama ke Achel, ma. Kalau adik sama kakak hidupnya tenang, artinya mereka tidak saling sayang.” Jeweran lembut mama di telinga membuatku meringis menahan sakit.
Dalam hitungan detik, mama kembali terlena dalam peraduan peran artis-artis Bollywood. Sementara aku yang memang tidak pernah menyukai tontonan seperti itu, memilih fokus pada aplikasi yang baru sekitar sebulan ini menjadi mainan di waktu senggang. Walaupun termasuk pengguna baru, cukup banyak wanita yang mengirim pesan padaku. Ternyata benar, wajahku cukup membanggakan.
Mungkin setelah ini aku harus berterimakasih pada Rachel yang telah membantu mengenal tiap fitur yang ada. Dia juga yang membantuku memilih foto profil yang sesuai dengan kriteria pengguna aplikasi. Foto lama yang aku ambil saat berlibur ke Singapura.
Menurut Rachel, senyum setengah hati yang terpampang, ditambah kacamata hitam, dan kemeja dengan kancing teratas terbuka, menjadi foto profil yang paling disukai. Seperti foto profilku yang saat itu menahan panas, dan diambil diam-diam oleh mama. Menurutnya mampu memikat pengguna di aplikasi tersebut.
Walaupun keputusan Rachel sempat membuatku sangsi, tapi kenyataannya tidak ada satu pun pendapat dan saran dari Rachel yang bisa dibantah. Semua yang telah dia ajarkan padaku, benar-benar membuahkan hasil. Sebagai remaja perempuan yang menghabiskan waktu senggangnya dengan bermain media sosial, tentu bermain aplikasi seperti ini menjadi rutinitasnya. Bukan mencari pasangan tentu saja, karena aku akan menjadi yang pertama memasang badan untuk menghalau pria-pria aneh di sekitarnya.
Rachel merupakan satu-satunya adik perempuan yang aku miliki. Usia kami yang terpaut hampir 10 tahun, cukup membuat kami dekat. Mulai dari menemaninya bermain, menjaga dan merawatnya saat papa dan mama bekerja, hingga membela dia yang sempat menjadi korban perundungan di sekolah.
Masih ingat dengan jelas bagaimana amarah papa padaku, saat berhasil membuat teman Rachel menangis. Aku yang saat itu merupakan siswa SMA, dengan bangganya membuat anak berusia 8 tahun menangis. Menggelikan memang, tapi salahkan dia yang sudah membuat Rachel menangis setiap harinya.
Kini, gadis yang dulu mudah menangis saat diganggu, dan selalu takut menyuarakan pendapatnya, justru menjadi wakil ketua OSIS. Dia bahkan dengan beraninya bermimpi menjadi seorang pengacara. Impian yang sempat ditentang oleh papa dan mama, karena dia telah dipersiapkan untuk menempuh pendidikan dokter. Bahkan sejak awal diterima sebagai siswa SMA jurusan IPA, dia telah banyak menorehkan prestasi yang akan membantunya lolos seleksi penerimaan pendidikan dokter.
Semua yang dia peroleh saat ini, tidak hanya karena kepandaiannya di sekolah, tapi juga aktivitasnya di luar sekolah. Mulai dari bimbingan belajar, bimbingan persiapan Ujian Nasional, bimbingan persiapan tes masuk perguruan tinggi, hingga kursus beberapa bahasa asing. Tidak lupa kursus yang bisa meningkatkan potensi dan hobinya dalam bermain piano.
Aku bisa membayangkan rasa lelah yang dia rasakan, persis sepertiku beberapa tahun silam. Bedanya, Rachel tetap semangat dan aktif dalam mengikuti kegiatan organisasi. Sementara aku, dulu hanya bisa fokus menjalani kehidupan biasa, tanpa bisa merasakan kebahagiaan bersosialisasi dengan orang lain.
“Achel tetap keras pada pendiriannya untuk menjadi pengacara ya?” Aku membuka percakapan dengan mama yang kini beralih memainkan ponselnya.
“Tahu sendiri bagaimana Achel. Keras kepala seperti papanya.”
“Mama juga keras kepala kok.”
Mata mama melotot menanggapi ucapanku. Tidak bermaksud kurang ajar, tapi memang kami sekeluarga adalah individu yang berkemauan keras. Itu juga yang menjadi penyebab kesuksesan kami. Papa sebagai direktur di sebuah rumah sakit, dan mama sebagai manager di salah satu bank swasta. Hanya saja, mama memilih menjadi ibu rumah tangga sejak dua tahun lalu. Tepatnya saat Rachel mengeluhkan kesendiriannya di rumah setiap pulang sekolah.
“Pengacara juga pekerjaan yang bagus, ma. Biar saja dia berusaha dan fokus belajar untuk apa yang memang dia inginkan.”
“Mama sudah melepas semua keputusan pada Achel. Hanya papa yang sampai saat ini masih sering merayu dan memaksa agar dia mau menjadi seorang dokter.”
“Biar nanti Tama yang membujuk agar papa bisa menerima semua keputusan Achel.”