Februari 2014
Bulan Februariku selalu penuh kebahagiaan setiap tahunnya. Sejak Tuhan mengijinkanku untuk menghirup udara dunia ini untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa bulan Februari akan selalu menjadi bulan yang spesial. Hanya di bulan ini, papa, mama, dan Rachel akan bersikap sangat manis dan penuh kejutan, untuk menyambut ulang tahunku. Bulan Februari juga menjadi titik pertamaku melangkah dalam dunia kerja. Selain itu, di bulan ini juga aku mengenal sosok hangat dan penuh cinta kasih, bernama Helena.
Sebelum mengenal dunia perkuliahan, aku hidup bagai robot yang telah terjadwal setiap detiknya. Langkah, pikiran, dan kegiatan yang akan dilakukan, semua telah diatur sejak membuka mata di pagi hari. Tidak ada satu pun waktuku yang terbuang percuma dengan bersantai atau bermain. Tanpa tahu apa yang akan dicapai, bahkan tanpa kejelasan tentang maksud perlakuan tersebut. Hanya satu kata ‘membanggakan’ yang selalu menjadi pesan papa dan mama di setiap aku mengeluh.
Terbiasa dengan rutinitas yang tiada henti, mengubah pola pikirku. Tuntutan menjadi sosok yang membanggakan, memaksaku untuk terus belajar, berusaha, dan bekerja keras. Hingga akhirnya tidak ada waktu atau sela pikiran untuk memikirkan kehidupan sosial hingga aku mengakhiri masa sekolah.
Lalu, keberuntungan dan hasil dari kerja keras belasan tahun pun terbayarkan. Diterima di salah satu kampus impian dengan mudah, tawaran dari beberapa guru besar untuk tergabung dalam proyek mereka, hingga kumpulan teman-teman yang tidak pernah aku punya sebelumnya. Termasuk menikmati keindahan dari hidup dalam dunia yang penuh romansa. Semua aku dapatkan sebagai buah dari kerja keras.
Masa kuliah menjadi satu bagian yang paling menyenangkan dalam hidupku. Berawal dari kekaguman beberapa teman dan dosen atas prestasi yang pernah diraih, membawaku pada kemudahan membentuk citra baik dihadapan teman-teman. Hanya saja, aku masih tidak terbiasa dengan popularitas dan kerumunan orang yang mengagumiku. Mahasiswa pandai dan pendiam menjadi deskripsi khusus untukku.
Alea menjadi wanita pertama yang mengenalkanku indahnya hidup dengan selipan bumbu-bumbu romansa. Merasakan perhatian dari orang asing, memiliki teman spesial untuk berdiskusi, sampai mengajarkanku cara menjadi pria yang bisa menghargai perasaan wanita. Alea juga yang membantuku untuk lebih mudah akrab dengan teman-teman baru. Dia juga yang mengenalkanku pada Yodha.
Sempat menjadi pasangan yang paling dikagumi, aku dan Alea harus membuat kecewa beberapa teman saat memutuskan untuk berpisah. Sebuah keputusan yang telah kami diskusikan, setelah untuk kesekian kalinya aku mengecewakan perhatiannya dengan mengabaikannya. Saat itu dalam bayanganku hanya ada kesuksesan dan bagaimana cara meraihnya. Sementara Alea hanya sosok yang ada, tanpa pernah benar-benar memenuhi ruang pikiran dan hatiku.
Waktu pun berlalu, dan kami sempat kembali menjadi dua orang asing yang sibuk dalam dunia masing-masing. Alea yang pandai mengatur waktu antara pendidikan dan perhatiannya pada kekasih barunya, sementara aku yang masih menyita waktuku dengan banyak kegiatan organisasi dan perlombaan. Tidak akan pernah ada tegur sapa atau menghabiskan waktu bersama saat ini, jika saja Yodha tidak berbaik hati merekatkan kembali hubungan kami menjadi sahabat.
Jika Alea adalah pintu yang berhasil mengenalkan adanya kehidupan lain selain belajar dan bekerja keras, maka Helena akan menjadi cinta pertamaku yang sesungguhnya. Wanita kedua yang aku jaga, banggakan, dan aku sayang setelah mama. Bahkan posisinya pun berhasil menggeser Rachel.
Melalui sebuah kegiatan kampus, kami menjadi akrab. Saat itu aku menjadi pembicara dalam sebuah kegiatan kampus, sementara Helena adalah panitia acara yang bertugas menemaniku sebelum kegiatan dimulai. Perbincangan kami awalnya hanya seputar kegiatan tersebut, hingga berujung pada diskusi panjang yang membawa kami pada kesempatan untuk saling bertukar nomor.
Sikapnya yang tegas, ramah, dan penuh wawasan, membuatku berani menunjuknya sebagai gadis impianku. Termasuk perhatian dan kasih sayang yang dia berikan, menjadi pemicu utama perasaan yang aku miliki. Dengan mantap aku mengenalkan dia pada anggota keluarga sebagai gadis pilihan.
Baru sebulan hubungan kami diproklamirkan saat itu, tapi bayangan dan angan yang muncul dalam pikiran sejauh memikirkan jenis busana pernikahan kami. Warna putih akan menjadi yang paling mencolok dalam busana, akibat rentetan kalung bunga melati, dan hiasan-hiasan bunga melati yang memenuhi sanggul mempelai wanita. Tidak jelas tergambar, jenis batik atau jarit yang akan kami kenakan. Mungkin akan menjadi perbincangan panjang mengenai adat daerah yang akan digunakan. Apakah mengikutiku yang berasal dari Madura, atau adat Jawa yang digunakan mengikuti keluarga Helena?
Tidak masalah, adat manapun yang akan digunakan. Asal berujung pada janji sehidup semati, tanpa perlu memusingkan perjanjian pra nikah yang kala itu sedang marak prakteknya. Sebuah kehidupan yang dilakukan bersama Helena, terdengar lebih membahagiakan daripada impian apapun yang sedang terbayangkan.
Bohong. Kenyataannya impian dan kesuksesan yang telah ditanamkan sejak kehadiranku di dunia ini direncanakan, tetap menjadi kehidupan yang paling membahagiakan dalam bayanganku. Maka sosok Helena yang bahkan telah menjadi gadis pilihan pun harus rela tersingkir, menyisakan kegundahan dan sedikit penyesalan. Benar, hanya sedikit penyesalan. Aku akan lebih menyesal jika terburu menyetujui keinginannya untuk menikah, dan merelakan semua perjuangan.
Besar harapanku jika Helena bisa bersabar sedikit saja, mungkin sekitar 10 tahun dari masa itu. Maka akan terjamin hidup Helena lebih membahagiakan daripada saat bersama diriku yang hanya pegawai baru sebuah perusahaan. Jika saja dia mau bersabar menunggu, saat ini kita telah merayakan kebersamaan kita yang ke 7 tahun. Makan malam bersama, dan merayakan kelulusanku sebagai seorang lulusan Magister, dan menjadi manager di usia muda. Lalu tiga tahun lagi, saat aku telah mendapat tawaran menjadi seorang direktur, aku pastikan cincin berlian tersemat di jemarinya.
Sayangnya, pilihan hidupnya jatuh pada pria yang baru dikenalnya selama setahun. Seorang pria yang berani melamarnya, saat – maaf – gajinya hanya satu digit, dengan gelar pendidikan tidak lebih dari sarjana. Bagaimana bisa dia menggadaikan kebahagiaan hidup denganku, hanya untuk menukarnya dengan hidup bersama pria yang bahkan tidak peduli bahwa nilai tukar rupiah saat ini melemah?
“Mas Tama memang pandai dalam hal bisnis dan perekonomian daripada aku. Tapi satu hal yang aku cukup bangga akan sombongkan adalah, aku lebih paham tentang hati dan pikiran manusia daripada mas Tama.” kata Rachel, saat kami berada di pernikahan Helena, dan mengutarakan keresahanku.