Maret 2014
Profesi yang dimiliki papa sebagai seorang dokter, membuatnya lebih sering menghabiskan waktu libur di rumah sakit daripada rumah. Seperti rumah adalah tempat singgah, sementara rumah sakit menjadi tempat tinggal sesungguhnya. Sering bahkan, mama yang harus berkali-kali mengunjungi papa di rumah sakit, hanya untuk mengantarkan pakaian ganti dan peralatan mandi papa. Untuk persiapan menginap di rumah sakit, katanya.
Dulu, papa sering menjelaskan posisinya sebagai dokter ahli bedah yang menjadi alasan kesibukannya. Pasien gawat darurat sudah mirip kawanan semut di sekitar gula, tidak pernah berhenti datang menengok semua dokter di Instalasi Gawat Darurat. Saat seperti itu, mama hanya bisa mengelus dada dan bersabar menanti kepulangan suami tercintanya.
Pernah satu waktu, aku temukan mama terisak di dalam kamar sambil menggenggam erat telepon rumah – saat itu tidak ada ponsel. Aku dengar, papa baru saja membatalkan janji makan malam bersama dengan kami untuk kesekian kalinya, karena harus melakukan operasi darurat dan akan menginap di rumah sakit. Bukannya menenangkan, aku yang saat itu masih lima tahun, justru ikut menangis kencang di balik pintu kamar. Tanpa tahu apa yang menjadi penyebab tangisan mama.
Mama segera menghampiriku dan menatap penuh rasa khawatir, memborbardir dengan beragam pertanyaan untuk mencari tahu penyebab tangisanku. Sementara aku yang memang tidak memiliki alasan pasti, hanya terus menangis sampai mata membengkak. Meski tidak handal dalam menghibur mama, setidaknya aku berhasil membuat mama berhenti menangis.
Hampir semua anak kecil menyukai makanan manis. Mulai dari permen, coklat, es krim, bahkan manisan. Perhatikan wajah anak kecil yang lebih berbinar saat melihat makanan penutup setelah makan malam, dan menangis saat dipaksa menghabiskan sarapan sehat. Pasti ada orangtua yang lelah mendengar tangisan anaknya, memilih luluh dan memberikan apa yang anaknya inginkan, yaitu semangkuk es krim dan 5 butir permen untuk sarapan. Terdengar menyeramkan, tapi aku yakin pernah ada yang melakukannya.
Seperti orangtua pada umumnya yang tidak suka melihat anaknya bersedih, mama pun akan merayuku dengan makanan atau mainan favorit setiap kali tangisan keluar tanpa sebab. Satu makanan yang selalu tersedia di laci teratas dapur rumah adalah gulali rambut nenek. Terbuat dari campuran gula, pewarna, dan perasa makanan. Dipanaskan dalam wajan, dan dibentuk sedemikian rupa dengan bantuan tepung dan susu, hingga menyerupai helaian rambut. Itu sebabnya disebut rambut nenek, karena berbentuk seperti helaian rambut dan berwarna putih. Ditambah rambut nenek benar-benar dibuat oleh nenek.
Saat mama dan papa masih sibuk bekerja, mereka akan membawaku yang saat itu masih berusia 5 tahun, unttuk tinggal sementara bersama nenek dan kakek. Hanya sampai langit berubah gelap, dan aku tidak lagi diperbolehkan bermain dengan teman-teman di sekitar. Lalu tepat saat jam antik tua di rumah nenek dan kakek berbunyi 3 kali, mama akan menjemputku. Kami pun akan berbincang mengenai kegiatan hari itu. Termasuk menceritakan rahasia nenek yang memanjakanku dengan camilan manis.
Gulali rambut nenek termasuk salah satu camilan yang nenek perkenalkan padaku saat kecil. Namanya yang unik dan terdengar menggelikan, sempat membuatku ketakutan membayangkan rasanya. Tapi seperti kucing yang terbius aroma tumbuhan catnip, satu mangkok gulali rambut nenek pun tidak berhasil memuaskan canduku. Bahkan dengan polosnya, saat nenek tidak sempat membuat camilan tersebut, aku akan mengambil gunting untuk memotong rambut asli milik nenek saat beliau tertidur, dan menaburinya dengan gula halus. Masih bisa terdengar suara teriakan histeris beliau saat melihat rambutnya terpotong, dan aku yang dengan tenang menyantap mahkotanya itu. Beruntung tidak ada helaian rambut yang berhasil tertelan.
Lalu sejak saat itu, rambut nenek menjadi jenis gulali favoritku, asal bukan nenek yang membuatnya. Ada bayang khawatir akan dendam yang mungkin nenek simpan, karena insiden pemotongan rambut. Rasa takut akan kemungkinan nenek memberiku rambut asli miliknya. Hingga butuh waktu berbulan-bulan bagi kakek untuk menenangkanku yang selalu menangis tiap nenek membawa gulali rambut nenek buatannya. Beliau bahkan meyakinkanku dengan sabar, bahwa nenek tidak akan pernah dendam pada cucunya.
Kini sudah hampir 5 tahun beliau meninggal, karena penyakit diabetesnya. Disusul kematian kakek dua tahun berikutnya, karena radang paru-paru akibat asap rokok yang selalu dihisapnya tiap jam. Tidak ada lagi sosok yang akan tersenyum dan dengan senang menyodorkan berbagai macam gulali buatannya. Tentu aku masih memiliki opa dan oma – orangtua papa – tapi suasana rumah yang disajikan, benar-benar berbeda. Aku dan Rachel sama-sama mengakui, bahwa rumah kakek dan nenek terasa lebih nyaman.
°°°
Memang benar adanya, bahwa kilas balik tidak hanya muncul karena melihat atau mengingat kejadian penting. Sebatas mendengar putaran rantai sepeda dan mencium aroma manis gula kapas, berhasil membuat setiap sel saraf pada bagian hipokampus bereaksi. Teringat dengan aroma khas dapur di rumah nenek saat membuat gulali.
Bedanya, dulu aroma ini identik dengan bau asap dan tepung dalam proses pembuatan gulali. Sementara saat ini, aroma manis seperti gulali, selalu ditemani dengan suara putaran rantai sepeda tua yang bergesekan dengan gigi rantai berkarat. Terdengar seperti decitan pilu rantai sepeda yang ingin segera digantikan posisinya. Hanya saja, masih ada misi mulia yang harus dia selesaikan, yaitu menghasilkan permen gula kapas, atau lebih tepatnya menghasilkan uang untuk pemilik sepeda tua yang tampak garang, dengan lengan berotot dan berurat. Hasil kerja keras puluhan tahun memutar paksa pedal sepedanya, untuk memutar alat pembuat gula kapas.
Maka selaras dengan kecepatan putaran pedal sepeda, secepat itu pula rantai tua itu harus berdesakan dengan gigi rantai. Memutar alat pembuat gula kapas yang dirangkai sendiri oleh pemiliknya. Menghasilkan permen bertekstur bagai kapas, berbahan gula pasir, dan pewarna makanan. Sebuah inovasi unik yang telah menarik – hampir – semua anak di dunia ini, dan telah membuat banyak orangtua memusuhinya.
Tidak denganku, yang justru tertarik dengan tekstur unik yang dibentuk oleh permen tersebut. Aku membeli satu batang gumpalan gula kapas, tidak peduli dengan senyum simpul penjual yang mungkin sedang mengejekku dalam hatinya. Menjumput sedikit demi sedikit, dan menikmati setiap jumputan gumpalan gula kapas yang meleleh pelan di atas lidahku. Memunculkan rasa manis yang lekat, hingga terasa menggumpal di ujung tenggorokan. Aku putuskan menyimpan gumpalan kapas itu kembali, dan akan menghadiahkannya untuk Rachel saat dia keluar sekolah setelah ini. Dia suka sekali dengan makanan manis.
Abang penjual permen gula kapas berkali-kali memandangku heran. Tampaknya aku seperti penculik gadis-gadis SMA yang membeli gula kapas untuk merayu mereka, agar mau mengikuti arahanku. Ditambah baru saja aku melumat sebagian permen tersebut, dan membungkusnya serapi mungkin, menambah kecurigaannya bahwa aku adalah penculik gadis-gadis remaja yang baru saja memberi mantra gendam, untuk membuyarkan kesadaran korban.
Sejujurnya aku pun tidak pernah suka jika harus berurusan dengan Rachel dan sekolahnya. Tidak bermaksud menjadi kakak yang jahat, hanya saja bosan mendengar kata-kata kurang pantas dari beberapa orang yang memandang. Yang katanya aku terlalu muda untuk menjadi seorang ayah, terlalu tua untuk mengencani murid di sekolah tersebut, bahkan tatapan sinis dan penuh curiga beberapa orangtua yang mengira aku adalah penculik. Persis seperti abang penjual permen tadi.
Hanya saja Rachel terlalu berharga bagi papa dan mama, sampai tak rela anak gadisnya pulang tanpa pengawalan. Dan hari ini bisa ku katakan hari tersialku, karena harus mengambil cuti setengah hari, demi menyetir puluhan kilometer untuk menjemput Rachel sepulang sekolah. Lebih tepatnya, menjadi sopir pribadinya selama sehari.