Di jantung kota Zyphoria, menjulang sebuah bangunan yang tak tertandingi oleh gedung lain di sekitarnya. Gedung ini bukan sekadar pencakar langit biasa—ini adalah pusat dari peradaban teknologi, jantung inovasi yang mengubah dunia: Miracle of Technology.
Dari luar, gedung ini tampak seperti monolit masa depan. Struktur kaca yang terbuat dari material nano-reflektif berpendar lembut, mencerminkan lautan cahaya neon kota yang tak pernah tidur. Puluhan drone keamanan melayang di sekelilingnya, dengan sensor optik yang mampu mendeteksi pergerakan sekecil apa pun. Di puncaknya, antena transmisi menghubungkan jaringan kecerdasan buatan yang tak terhitung jumlahnya, mengendalikan arus informasi yang lebih kompleks dari yang bisa diproses oleh otak manusia.
Di dalam gedung ini, para ilmuwan terbaik dunia bekerja tanpa henti. Di setiap sudut ruangan, terdapat layar holografik yang menampilkan data real-time, blueprint inovasi terbaru, serta pemetaan kuantum dari eksperimen yang sedang berlangsung. Ruangan ini hidup—dengan suara mesin yang berdengung halus, aliran listrik yang menggetarkan lantai, dan sinar biru kehijauan yang berkedip dari panel kontrol.
Di ruang pusat penelitian, di tengah lingkaran layar monitor dan panel pengendali, berdiri Dr. Fushida—seorang ilmuwan terkemuka yang dikenal karena kecerdasannya yang melampaui generasi. Rambut peraknya yang tersisir rapi berkilau di bawah cahaya neon, dan sorot matanya terpaku pada satu objek: sebuah permata merah yang tersimpan dalam tabung kaca.
Permata itu bukan sembarang batu. Cahaya merahnya berdenyut, seolah memiliki detak jantungnya sendiri. Energinya begitu kuat hingga medan elektromagnetik di sekelilingnya sedikit bergetar. Dr. Fushida mengamati angka-angka yang melesat di monitor, mengukur kadar energi yang dikeluarkan permata tersebut. Para ilmuwan lain di ruangan itu menatap dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa yang mereka hadapi bukan hanya sekadar artefak... ini adalah sumber energi yang melampaui akal manusia.
"Sinkronisasi masih belum stabil... Namun intensitasnya semakin meningkat," gumam Dr. Fushida, jari-jarinya bergerak lincah di layar sentuh di depannya.
Di sekeliling ruangan, berbagai alat pengukur canggih mencatat setiap perubahan yang terjadi pada permata merah itu. Sensor ionik bergetar, panel spektrum energi berpendar tak menentu, seolah-olah permata itu sedang berusaha berkomunikasi dengan sesuatu di luar pemahaman manusia.
Namun, jauh di atas sana—di luar jangkauan sensor dan mata para ilmuwan—ada ancaman yang sedang bergerak.
Di puncak salah satu gedung pencakar langit yang menghadap langsung ke Miracle of Technology, sebuah tangan dengan sarung mekanis berlapis kevlar mengetuk serangkaian tombol kecil di panel elektronik portabel. Cahaya merah redup dari layar kecil menyinari wajah seseorang yang tersembunyi di balik helm taktis berlapis serat karbon.
Di belakangnya, dua sosok lain berdiri siaga. Mata mereka waspada, masing-masing menggenggam senjata elektromagnetik yang didesain untuk menetralkan sistem keamanan tanpa meninggalkan jejak.
"Kita sudah terhubung," suara serak dari pemimpin tim bergema melalui kanal komunikasi tertutup. "Drone kamuflase sudah masuk ke dalam ventilasi."
Di dalam sistem ventilasi Miracle of Technology, sejumlah unit drone kecil—sekecil laba-laba mekanik—bergerak dalam keheningan absolut. Tubuh mereka dilapisi material reflektif yang menyesuaikan dengan warna sekitarnya, menjadikannya nyaris tak terlihat oleh sensor keamanan.
Dengan lincah, mereka merayap melewati celah sempit, menghindari sensor gerak, dan menempel di dinding seperti bayangan yang tak kasatmata. Setiap drone membawa perangkat pemindaian frekuensi, merekam pola gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh permata merah di ruang penelitian.
Di layar helm pemimpin tim, peta internal gedung mulai terbuka sedikit demi sedikit.
"Sinyal stabil. Kita hampir sampai."
Di ruang penelitian, Dr. Fushida merasakan sesuatu yang aneh. Sejenak, dia menghentikan pekerjaannya dan menatap ke sekeliling.
Ada sesuatu yang berbeda.
Sesuatu... yang tidak seharusnya ada di dalam ruangan ini.
Di bawah bayang-bayang sistem keamanan yang ketat, laba-laba mekanis itu bergerak menuju sebuah ruangan yang tersembunyi jauh di dalam kompleks penelitian. Tidak ada label di pintunya. Hanya pemindai biometrik dan lapisan laser merah yang menjadikannya tak tersentuh oleh sembarang orang.
Namun, drone itu tidak berhenti.
Salah satu laba-laba mekanis melompat ke pemindai dan mengaktifkan gelombang frekuensi tinggi. Dalam hitungan detik, sistem mengalami gangguan singkat—cukup untuk membuat pintu terbuka hanya beberapa inci. Cukup untuk mereka masuk.
Di dalamnya, berdiri sebuah kotak hitam yang dilapisi medan laser. Di sisi kotak itu terukir satu kata yang nyaris pudar karena waktu:
E.Y.E.S
Proyek lama. Teknologi yang belum stabil. Artefak yang terkunci dalam waktu.
Tangan-tangan kecil mekanis itu merayap lebih dekat, beberapa mulai meretas medan laser, sementara lainnya menyiapkan mekanisme pengangkatan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mengangkat kotak itu dan mulai mundur.
Namun, dunia tak pernah memberi kemudahan bagi pencuri.
—BIP!—
Suara alarm nyaring menggema.
Deteksi keamanan menyala. Sensor gerak membaca anomali, dan dalam hitungan sepersekian detik—
DOR! DOR! DOR!
Drone laba-laba meledak satu per satu. Laser biru menyapu ruangan, menghancurkan mereka dengan presisi sempurna.
Pintu ruangan terbuka lebar. Beberapa penjaga bersenjata masuk, senjata mereka masih mengepulkan asap dari tembakan presisi barusan.
Salah satu penjaga, pria dengan lencana kapten di dadanya, mengerutkan dahi. Tatapannya terpaku pada sisa drone yang masih mengepul.
"Aneh," gumamnya. "Mereka seharusnya tidak bisa menembus sistem seketat ini..."
Dia berjongkok, memeriksa sisa logam yang masih berasap, lalu matanya menyipit.
"Tidak mungkin..."
Tangan penjaga itu menyentuh celah kecil di ventilasi udara.
Celah yang terbuka...
Seolah ada seseorang yang sengaja membiarkan mereka masuk.
Namun, saat semua orang fokus pada reruntuhan drone, tak ada yang menyadari satu hal penting:
Kotak E.Y.E.S telah menghilang.
Sementara itu di atas gedung pencakar langit, sosok bertopeng menyeringai puas.
Di depannya, drone kecil meluncur dari kejauhan, membawa sesuatu yang lebih berharga dari seluruh aset perusahaan teknologi di dunia—E.Y.E.S.
"Akhirnya...!" desisnya, mata berbinar penuh kemenangan.
Tangannya terulur, siap menyambut kotak misterius yang selama ini hanya legenda...
Tapi begitu drone itu mendekat...
Kotaknya HILANG!!!
Yang ada hanya secarik kertas BUKAN E.Y.E.S.
Dengan tulisan besar...
"IKAN HIU DIPUKUL BALOK. KETIPU LO, GOBLOK."
...
...
...
"HAH?!?!"
JANTUNGNYA LONCAT KE UBUN-UBUN.
"INI APAAN ANJIR?!"
Dia langsung GRABAK-GRUBUK ngebolak-balik kertas, berharap ada sesuatu di belakangnya. KOSONG.
"APA APAAN INI?!"
DIA KENA PRANK SUPER DELUXE.
DIA SUDAH MIKIR UDAH JADI MAFIA TEKNOLOGI, EH MALAH JADI KORBAN TROLLING.
"TOLOOOLLL!!!"
BRAAKKK!!!
Tiba-tiba kerahnya DICENGKERAM KERAS.
Rekannya yang cewek, bersenjatakan dua pisau piringan, udah ngamuk luar biasa.
"GOBLOK! INI KENAPA JADI GINI?!"
Pria itu DIKOCOK-KOCOK kek botol susu bayi.
"KEMANA E.Y.E.S.?!! KEMANA KOTAKNYA, BANGSAT?!"
Orang bertopeng itu NGELIAT KERTAS LAGI.
Masih ada tulisan "KETIPU LO, GOBLOK."
Dia nelen ludah.
"E-eh... s-sabar dulu, kita bisa... k-kita bisa..."
DUORRR!!!
Pisau piringan si cewek MELUNCUR dan NYANGKUT DI TIANG DI SEBELAH KEPALANYA.
Napasnya ngegronjal kayak mesin motor butut.
Matanya udah BERAPI-API.
"BISA APA?! HA?! BISA APA?! KITA BISA APA,?! NGEBANGUN KAMPUNG DI PLANET LAIN?!"
Si orang bertopeng langsung nunduk.
"S-SORRY!"
TAPI BELUM SELESAI.
REKAN SATUNYA YANG BADAN GEDE IKUT TERIAK.
"WOOOOOOOOY!!!"
SUARANYA BASS BOOSTED SAMPE GEDUNG SEBELAH GEMETAR.