Eagle Dust

I. Majid
Chapter #3

Chapter 2 - Dry Blood

Menjelang malam. Bisa dibilang sedang senja. Angin kencang sudah tidak lagi menerpa kota. Kakiku melangkah menaiki anak tangga menuju ruang di lantai tiga paling atas. Aku tidak meneguhkan tangan kiriku pada kayu pegangan tangga, sebab langkahku sudah hafal betul setiap rentang undakan tangga yang kunaiki satu persatu. Suara ketukan tongkatku menggema pada lorong sunyi. Seperti biasa, tidak ada suara penghuni lain di lantai tiga ini kecuali diriku.

Sesampainya di dalam rumah—tanpa perlu menyalakan lampu tentunya, aku menaruh jaketku pada tiang hanger dekat pintu masuk. Menaruh kaca mata hitamku di depan mata boneka jerapah raksasa yang terpajang di sebelahnya. Apartemen ini berukuran sangat sedang, semua tata letak dan juga furnitur kubuat seleluasa mungkin agar kakiku tidak melulu tersandung benda di sisi kanan kiri jalurku menapak.

Seorang pelayan kepercayaanku bernama Ramani Darlӧf datang tiga hari sekali untuk membantuku berbersih. Wanita paruh baya itu sudah lima tahun mengabdi sejak aku masih menghuni Eagle Castle. Ramani justru sangat senang ketika aku memintanya untuk menjadi asisten di apartemen. Lagipula ia sudah terbiasa dengan segala yang kubutuhkan. Membersihkan bercak darah yang terkadang tertinggal di baju, sepatu, bahkan dinding rumahku. Aku tidak perlu meragukan kesetiaannya.

Biasanya, hal yang sering kulakukan setiap pulang kerja adalah mandi kemudian tidur. Melewatkan makan malam dan lebih suka membenamkan diri di balik selimut. Namun kali ini, tampaknya perutku tidak sanggup menahan gejolak rasa ingin makan sesuatu.

Hal yang tidak sulit bagiku, mencari bahan makanan di dalam lemari es. Mengambil beberapa butir telur, bawang, tomat dan juga sayuran yang masih terasa segar—kurasa. Dengan caraku sendiri, aku sudah benar-benar hafal dimana letak peralatan dapurku. Menyusun mereka dengan sangat rapi dan tertata di atas meja dapur.

Dalam hitungan lima belas menit, aku sudah mengiris bawang, sayuran dan juga tomat dengan keahlian indera peraba. Menuangkan satu persatu bahan-bahan yang kuperlukan untuk sekedar memasak telur omlete. Harum margarine dan juga paduan telur menyunggingkan senyum kecil di sudut bibirku. Suara gemericing minyak di atas panci penggorengan membuat suasana dapur menjadi senantiasa ramai. Hal yang paling kusukai dalam kesendirianku di tempat ini. Berbaur dengan kesibukan yang menjadi obat penentram.

Diakhiri dengan menikmati makananku di meja makan. Tanpa sendok atau garpu, sebab tangan kananku lebih baik kugunakan untuk mendapati tekstur makanan sebelum berakhir di dalam mulut. Aku memutar musik klasik dari mp3 player yang menyala setelah menekan beberapa tombol pada remote, sambil menikmati kunyahan omlete dan juga buah tomat. Terhanyut. Sesekali bibirku menyunggingkan senyum sendiri. Aku mulai menikmati kesendirianku. Ritual agung sebelum melakukan pekerjaan nanti malam. Setiap orang punya cara mereka masing-masing untuk menikmati kesendirian, bukan?

Tak ada alasan yang membuatku bertanya saat tiba-tiba terdengar suara dentuman lompatan kaki di atas rooftop.

Dahiku mengernyit, disusul dengan dengkusan kesal.

Lagi - lagi, suara dentuman kaki menggeludak. Kemudian suara beberapa pria tertawa berdengung.

"Lompatanmu seperti orang tua osteoporosis, Dave!" Seruan seorang pria memanggil temannya yang kemudian melompat setelahnya.

Keributan itu lagi. Tanpa sadar tanganku bergerak memukul permukaan meja hingga suara kelentingan piring terdengar. Raut wajah mengesal. Mendengkus. Rasanya aku ingin bangkit dan berlari ke atas atap untuk membuat perhitungan pada para pria—entah mereka remaja atau anak-anak, aku tidak peduli. Terang saja aku tidak suka atap rumahku di jadikan tempat mainan.

Hampir setiap sore, rooftop yang berada tepat di atas kepalaku berdentum keras dan mengeluarkan suara gema. Terkadang lampu gantungku sampai bergetar akibat ulah mereka. Apa tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan di atas sana? Ini sudah berlangsung puluhan kali sejak para pria pengangguran itu menjadikan kawasan padat penduduk ini sebagai lahan parkour.

"Jangan menghinaku. Aku hanya salah membuat kuda-kuda sekali, lihatlah pendaratanku sempurna. Tidak sepertimu yang terlihat mirip wanita tua yang tersungkur." Ahh, kurasa dialah si pria bersuara baritone yang bernama Dave.

Aku memejamkan mataku kuat sembari menarik napas. Berusaha tenang, agar meja yang tak bersalah tidak lagi menjadi pelampiasanku. Kalau saja kau lihat bola mataku saat aku membukanya, barangkali kau akan langsung mengalihkan pandangan. Kau tidak akan menemukan bayangan apapun di mataku selain warna retina yang berselaput pucat. Juga kelopak mata yang tidak lagi berbentuk wajar. Begitu yang pernah kudengar dari orang-orang terdekatku di Eagle Castle.

Terus terang, aku benci kebisingan. Aku benci keributan. Dan aku benci bila ada orang lain yang mengganggu ketenanganku. Meski aku tidak mungkin membunuh mereka, hanya saja para pengganggu itu sudah merusak ritualku. Bahkan ketika suara mereka menghilang dan tak lagi terdengar pun aku masih duduk di tempat semula. Mendiami diriku sendiri selama sepuluh menit dengan musik klasik yang kuharap bisa memulihkan semangat berburu.

Aku melanjutkan makan malam.

Beruntung, tugasku malam ini berjalan dengan baik.

Di lorong 21, jam 11 malam. Pria bernama Peter itu menghantarkan nyawanya sendiri padaku. Jelas saja tak akan ada satu orang pun yang curiga seorang wanita tuna netra sepertiku punya kemampuan membunuh secara terlatih. Aku hanya perlu berdiri dan sedikit melangkahkan kakiku untuk berjalan pada lorong yang dimaksud.

Bau pekat yang sama dengan pertanda itu. Dan suara derap langkah mencurigakan terendus. Ciri yang sama seperti yang diberitahu oleh sang agen. Aku pun dengan lihai menajamkan pendengaran hingga lambat laun langkah pria itu mulai mendekat.

"Anda berada di tempat yang salah, Nona. Apakah Anda tersesat?" Pria itu menelisik mataku yang tertutup kaca mata hitam, bau pekat itu semakin menusuk hidungku. "Kau buta?" Kemudian ia meringis tawa.

Aku berpura-pura gugup, menyudutkan diriku pada tembok dingin. Membiarkanya menertawaiku tentunya.

"Jangan takut, Nona. Aku tidak akan menyakitimu jika kau bersedia memberikan tas mungilmu itu padaku."

"Pergilah! Jangan menggangguku," gertakku.

Mendekatlah. Rayulah aku sebisamu sebelum kau kehilangan kesempatan. Bukankah tubuhku terlalu harum? Sayang sekali jika kaulewatkan begitu saja, bukan?

Lihat selengkapnya