Satu sayatan luka saja sudah cukup membuatku gelisah setiap siang dan malam. Bagiku, itu terlalu menyakitkan dan kini ada seseorang yang dengan sengaja memeraskan jeruk nipis di atasnya. Sudah cukup, aku tak kuat lagi menahan rasa sakit yang begitu perih ini. Aku tak kuat jika harus merasakan rasa sakit yang lebih sakit lagi. Tuhan, bisakah Engkau mendengar jeritan hatiku?Aku lelah mengejar punggung seseorang yang semakin menjauh. Dan kini, aku lelah bersandiwara tanpa ada apa-apa antara aku denganmu. Mungkin, memang aku yang salah karena tak bisa menempatkan hati pada tempat yang seharusnya. Aku memang payah dalam urusan ini.
Aku payah karena tak bisa memberikan kebahagiaan pada diriku sendiri.
Mati-matian aku menahan hati agar tak jatuh lagi, tetapi kamu seakan memiliki magnet yang terus menarikku. Kata-katamu membuat aku merasakan kembali getaran-getaran cinta yang telah berdebu. Kata-kata sederhana yang keluar dari mulutmu merasuk ke dalam jiwaku. Apa yang salah dari indra pendengaranku? Mengapa setiap kata-kata yang terlontar darimu terdengar begitu indah di telingaku?
Andai, aku dan kamu tidak terikat dalam hubungan rumit yang menyiksa. Tidak mungkin aku terus bersandiwara seperti ini. Sekuat apa pun aku mencoba, sebuah rasa tetap tak dapat ditahan. Dan rasaku, sepertinya kembali tak terbalaskan. Mengharapkan sebuah balasan adalah hal terindah yang tak akan pernah menjadi nyata.
“Galau lagi, Bel?” tanya lelaki itu sambil terus memperhatikan raut wajah Bella yang terlihat begitu suram. Kedua mata Bella memandang kosong ke arah jalanan, rambutnya sedikit acak-acakan, dan ia terlalu malas untuk sekedar menampilkan segaris senyuman.
Tak mendapatkan jawaban dari Bella, lelaki itu pun kembali bertanya. “Pasti galau gara-gara Ardhito, ya?”
Bella tetap saja terdiam, ia tak menyanggah ataupun mengiyakan. Merasa diperlakukan seperti radio bodol, lelaki itu merasa kesal juga. Namun, ia tetap menjaga kekesalannya itu. Karena mau bagaimanapun juga, Bella adalah sahabat baiknya. “Aku kan udah bilang berkali-kali kalau ada masalah cerita aja. Terus apa gunanya aku di sini kalau kamu nggak mau cerita?”
Kemudian Bella melirik ke arah lelaki itu dan senyumnya kembali terbit. Meski hanya sekedar senyum kepalsuan. “Berisik banget sih kamu kayak ibu-ibu di tukang sayur aja. Aku tuh nggak lagi galau tau. Kalau aku galau pasti udah ngoceh dari tadi.”
Mendengar perkataan Bella justru membuat lelaki itu tertawa dan mengacak-acak rambut Bella. “Aku bukan kenal kamu kemarin, Bel. Aku tau kalau kamu lagi ada masalah. Jadi, jangan sok-sokan nutupin dari aku.”