Selama dua hari aku terbaring di rumah sakit. Hanya Kamelia yang menjaga diriku ketika tertidur. Memang Ayahku mengkhawatirkan diriku, dan ia juga menemaniku sebentar. Sesudah ia membayar biaya rumah sakit, ia tak pernah kembali lagi saat pertama menemukan diriku mencoba bunuh diri di rumah sakit.
Kamelia tak banyak bicara. Hanya melemparkan senyuman bersyukurnya, sambil mengeluskan tanganku. Aku melihat ke dirinya penuh kekecewaan. Tapi ia tak merubah raut mukanya untuk bersedih. Tak ingin memancingku untuk melakukan hal itu lagi.
“Kenapa nggak biarin aku mati?”
Kamelia membelai rambutku tak lekas menjawab. Matanya menatapku nanar. “Kamu anak nakal!” celetuknya. Keningnya berkerut dengan setitik air mata muncul di sudut. Ia berusaha membendung kesedihan itu dengan senyum palsu. “Nenek kamu sampai nelpon dan marah-marah saat dia tahu.”
Apa peduli nenek.
Aku mengelakkan pandanganku ke arah lain. Mataku juga menitikkan airnya dan segera kuseka dengan telunjukku. Telingaku berdenging keras bersamaan dengan dunia yang tiba-tiba kelam. Aku terlalu lelah untuk bangun. Kamelia pun membiarkanku beristirahat.
*
Pintu kamar mandi itu tak memiliki kunci. Mereka sengaja membuatnya seperti itu, kalau-kalau saja diriku mencoba untuk bunuh diri sekali lagi. Aku melepaskan tangisku di dalam kamar mandi itu, membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Sampai sebuah suara lelaki yang ku kenal dan ocehan perempuan terdengar dari luar, aku menghentikan tangisanku.
Wajahku ku basahi dengan air. Sebagian rambutku ikut basah ku sisir dengan jari ke belakang. Aku keluar dari kamar mandi itu dengan rasa lega, dan mendapati dua orang teman dari sekolah telah menungguku di ruangan.
Lelaki itu membisikkan sesuatu ke telinganya, dengan matanya menoleh padaku. Sudah pasti ia membicarakan diriku. Ku dengar samar-samar sebuah kata ‘menangis’ dari bibirnya. “Oh, hai Iren!” sebuah sapaan yang ku dapat setelah aku berdeham.
“Ah. Sungguh memalukan mendapatkan orang-orang menjenguk seorang teman yang ingin bunuh diri,” celetukku. Aku membiarkan kakiku membawaku kembali ke atas ranjang. “Moses. Baiknya kamu datang nggak dengan tangan kosong!”
Lelaki tersebut bernama Moses. Ia mengeluarkan sebuah kitkat berukuran kecil dari kantong bajunya. “Hei, sorry. Kami keburu kesini, jadi nggak sempat beliin apapun. Tapi aku punya ini,” sambil ia menyodorkan coklat tersebut ia berkata.
Aku merebut kitkan tersebut dan langsung mengunyahnya. Mereka berdua menatapku ketakutan. Mereka khawatir bahwa diriku tidak lagi waras. “Kalian harus pergi. Sebentar lagi jam besuk mau habis”. Aku hanya meminta mereka tak usah mengasihaniku. Mereka tak punya alasan untuk mengasihaniku.
Perkenalan Aku, Moses dan Kate sedikit mencanggungkan pada awal kelas. Kami berada di dalam kelompok yang sama pada sebuah mata pelajaran. Semenjak itu Moses dan Kate mulai menghargai diriku sebagai teman kelas. Dan hari ini, kemungkinan besar bahwa mereka datang karena terpaksa.
Kamelia masuk ke ruangan mendapati mereka berdua berdiri ketakutan. “Moses, Kate”. Kamelia mencengkram lembut tangannya sendiri. “Terima kasih sudah mau besuk Iren!” Dengan senyuman dan tundukkan kepala. Kamelia sangat menghargai teman-temanku itu.
“Tante. Kami mau pulang dulu karena jam besuk sudah habis,” ucap Kate.
Kamelia mengangguk lagi, juga dengan senyuman. “Ah iya, jam besuknya.”