Kota Orion: Kota Cahaya dan Kenangan, Maret 2090
Kota Orion adalah simfoni futuristik yang berkilauan di tengah kegelapan malam. Dikenal sebagai pusat inovasi terbesar di dunia, Orion dibangun dengan arsitektur yang terinspirasi oleh impian manusia akan kesempurnaan. Menjulang tinggi dengan gedung-gedung megah yang terbuat dari bahan transparan, kota ini seakan hidup dengan cahaya neon biru, ungu, dan perak yang meresap ke setiap sudutnya. Pada siang hari, kota ini bersinar dalam kilau keemasan, namun pada malam hari, Orion benar-benar berubah menjadi kota cahaya yang menakjubkan, penuh dengan hologram, layar interaktif, dan seni digital yang mempesona.
Orion dibagi menjadi beberapa distrik yang terhubung melalui jaringan transportasi cepat yang bisa melesat di udara maupun bawah tanah. Skytrains yang tampak seperti jalan-jalan cahaya menghubungkan berbagai area, menyelusuri langit dan menyatu dengan gemerlap bintang-bintang. Di bawah tanah, jalan-jalan holografik yang berubah bentuk sesuai keinginan penggunanya membimbing mereka melalui galeri seni virtual, pusat perbelanjaan futuristik, dan labirin teknologi canggih yang penuh dengan data, algoritma, dan memori.
Lucas memejamkan matanya.
Saat ini ia tengah berada di dalam Skytrain, melaju dengan sunyi ditengah kota Orion—kota masa depan yang sudah ia tinggalkan 20 tahun silam dan tidak pernah sekalipun menginjakkan lagi kakinya kesana. Sekitar tiga puluh menit yang lalu, ia baru saja mendarat di Bandara Orleans Land, dan kini harus menempuh perjalanan sekitar satu jam lagi menuju kediaman Isaac, yang terletak di Orleans Orion—sebuah kota kecil di dalam megastruktur Orion yang megah. Di luar jendela kaca berlapis sensor, panorama malam mulai muncul. Gedung-gedung tinggi tampak seperti rasi bintang terbalik, dan cahaya dari rel langit memantul di iris mata Lucas yang kini menyimpan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Di Sebelahnya, Danny setengah tertidur karena begitu lelahnya, tumpukan pekerjaan yang harus mereka selesaikan dalam 3 hari ini karena mengejar perjalanan ke Orion membuat mereka harus begadang non-stop. Instrumen Clair de Lune dari speaker Skytrains mengalun pelan.
Meski tubuhnya diguncang lembut oleh getaran magnetik dari rel suspensi, pikirannya justru lebih kacau dari jalur yang dilaluinya. Orion bukan hanya sekadar kota lama yang terasa baru bagi Lucas—ia adalah labirin masa depan yang menyimpan serpihan masa lalunya.
“Orleans Orion,” gumamnya pelan, seolah mencoba merasai kata itu di lidah.
Namun bukan itu yang membuat pikiran Lucas rumit. Rumah itu adalah milik Isaac Thorne Feyer—sosok jenius dibalik banyak proyek urban futuristik, dan kini klien utamanya saat ini. Tapi lebih dari itu, ia mendengar rumor-rumor tentangnya beredar dari saluran tak resmi—sebuah A.I. yang mampu ‘menutup fragmen ingatan’...
Mobil autonomous berwarna perak menjemput mereka di stasiun. Kendaraan itu tak bersuara, tubuhnya terbuat dari paduan metalik transparan dan logam hitam yang memantulkan cahaya kota dalam pola-pola bergerak. Danny bersiul pelan, terkesima.
“Ini bukan mobil,” gumamnya. “Ini karya seni.”
Lucas hanya mengangguk. Ia menyebutkan alamat tujuan, dan mobil melaju tanpa jeda, membelah kota yang semakin dalam.
“Hei, tapi kau tahu, kan... soal desas-desus itu?” Ujar Danny memecah kesunyian di perjalanan mereka, “Teknologi baru itu. Simulasi kenangan.”
Lucas yang sedari tadi berusaha untuk tidur akhirnya membuka matanya, tapi tak menoleh. “Ya. Aku dengar. Tapi entahlah... kupikir manusia belum secanggih itu.”
“Zaman sekarang semuanya mungkin. Terutama kalau Isaac yang mengerjakan.” Danny menatap Lucas lekat-lekat. “Kalau benar bisa... kau nggak tertarik mencobanya?”
Lucas diam sejenak. Sorot matanya menerobos keluar jendela, menembus lapisan holografik langit kota. “Entah. Kenangan apa yang ingin aku tutup?”
“Hah, iya juga. Aku ragu kau punya sesuatu untuk dikenang,” cibir Danny, tertawa. “Bahkan aku nggak yakin kau pernah punya mantan.”
Lucas menoleh pelan, mengernyit. “Siapa bilang?”
Danny tertawa makin keras. “Serius, sepuluh tahun aku mengenalmu dan aku belum pernah dengar kau cerita soal perempuan. Atau laki-laki. Atau siapa pun.”
Lucas tak menjawab. Matanya kembali ke luar jendela.
“Mungkin... bukan pacar,” katanya akhirnya, hampir tak terdengar.