Mason mengarahkan mereka keluar ruangan, mereka berjalan menyusuri lorong-lorong kaca yang dingin dan bersih, dindingnya dilapisi panel interaktif berpendar lembut.
“Cuma kalian berdua yang terakhir sampai hari ini.” ujar Mason, suara ramahnya menggema ringan. “Elysia baru sampai dua hari lalu. Celia dan Zack? Mereka belum pernah berhenti kerja dari hari mereka mendarat.”
Danny mendesah panjang. “Senang sekali mendengar kita punya kompetitor dalam hal workaholic.”
Mason tertawa kecil, lalu menunjuk ke salah satu ruangan dengan dinding berwarna pirus mengkilap. “Ini ruang interferensi emosi. Kita pakai ruangan ini untuk menyelaraskan suasana hati tim—biar nggak ada yang nendang meja waktu coding macet.”. Danny meringis membayangkan hari-hari kedepannya yang kelam.
Lucas hanya menatap, ekspresi datarnya tak berubah, tapi anak matanya sempat terhenti sejenak. Dinding ruangan itu tiba-tiba memantulkan bayangan dirinya dalam spektrum cahaya yang hangat—hampir seperti menyambut. Aneh. Ia melangkah lagi tanpa berkata.
Lorong berganti. Mereka melintasi sebuah jembatan kaca yang mengarah ke sisi barat kompleks. Di bawah mereka, sebuah taman rimbun terlihat tumbuh dengan leluasa—pepohonan ramping yang menjulang, rerumputan sintetis, dan sungai kecil yang berkelok.
“The Forest Gallery,” kata Mason, memperhatikan mata Danny yang membelalak. “Buat relaksasi. Banyak koleksi tanaman-tanaman langka yang sengaja Isaac tanam disini. Kalian bebas melihat-lihat kapan aja. Asal hati-hati jangan sampai menginjak tanaman kesayangannya”. Gurau nya lagi.
“Ini… seperti hutan hidup di dalam galaxy” gumam Danny.
Lucas berjalan perlahan, sorot matanya tak sepenuhnya lepas dari bayangan cahaya senja yang menyusup di antara dedaunan. Ada sesuatu yang terlalu damai di ruangan ini. Terlalu… menenangkan.
Beberapa langkah kemudian, mereka berhenti di depan sebuah pintu hitam berpermukaan halus tanpa gagang. Di sebelahnya tertera simbol aneh menyerupai pola gelombang otak.
“Liminal-Sky Room,” kata Mason datar. “Tidak bisa masuk tanpa izin. Ruangan ini bisa mengakses ulang memori, dan.. Masih dalam tahap pengembangan–-non public.”
Lucas sempat menoleh, namun tak berkata sepatah pun.
Danny meneguk ludah. “Siapa yang mau sengaja muter ulang masa lalu sih...”
“Seseorang yang belum bisa berdamai dengannya,” jawab Mason cepat, lalu tersenyum seperti tak pernah bicara serius barusan.
Mereka berbelok lagi, kini masuk ke sebuah dapur bergaya minimalis penuh sentuhan logam hitam dan lampu putih hangat.
“Dapur. Ya seperti dapur pada umumnya saja.” ujar Mason sambil mengetuk meja. “Dapur, ruang makan, dan tempat curhat tidak resmi semua jadi satu. Isaac bilang, setiap sistem yang terlalu steril akan kehilangan hatinya.”
Lucas memperhatikan oven tua di sudut ruangan—bukan digital, tapi model klasik dengan tuas manual dan nyala api biru yang hangat. Di rak atasnya berjajar toples-toples kaca dengan label tulisan tangan: clove, hibiscus salt, caraway.
Di samping meja, sebuah teko berbentuk aneh mengeluarkan uap lembut, sambil memutar musik klasik dari speaker kecil di perutnya. Danny tampak heran.
“Ini… bukan AI?” tanyanya sambil menekan satu tombol.
“Bukan. Itu Cora. Mesin teh yang keras kepala dan tidak suka ditinggal dua kali dalam sehari, hanya salah satu produk gagal milik salah satu ilmuwan disini dulu.” jawab Mason santai.
Lucas mendekati rak di dinding, matanya menyusuri potret-potret kecil dalam bingkai kayu. Wajah-wajah tim lama, mungkin. Ada satu foto yang membuatnya berhenti: lima orang mengenakan pakaian lab, salah satunya adalah Isaac—lebih muda, senyumnya lebar, tangannya memegang bayi mungil terbungkus selimut merah muda. Di Sebelahnya juga ada seorang wanita muda berparas cantik yang juga menggendong bayi. Kedua bayi itu mengenakan selimut gendong berwarna sama. Dan disebelahnya lagi seorang pria muda yang mirip dengan Isaac—hanya lebih tinggi. Berdiri diam tanpa ekspresi, seolah dirinya dipaksa untuk foto bersama.
“Mereka dulu semua tinggal di sini?” tanya Lucas.