Echoes Between Us

Elaris Septembre
Chapter #7

The Living House

Lucas bangun lebih pagi, bukan karena alarm atau tanggung jawab, tapi karena pikirannya terlalu gaduh untuk tidur. Glitch semalam masih berputar di kepalanya, seperti gema samar yang enggan reda—membangkitkan rasa penasaran yang begitu menyebalkan.

Saat air sedingin es menyentuh wajahnya di wastafel, Lucas menatap pantulan dirinya: dingin, jernih. Dan untuk sesaat, ia merasa seperti sedang menatap seseorang yang belum sepenuhnya ia kenal.

“Tidak semua hal harus berhubungan denganku,” gumamnya pelan—sebuah keputusan kecil, namun cukup untuk mendorongnya menjalani pagi itu dengan kepala sedikit lebih ringan.

Lorong rumah itu menyambut dalam keheningan yang rapi. Lucas dan Danny berjalan santai; Danny masih mengucek mata dengan hoodie yang setengah melorot, di belakangnya Lucas menyusul, rapi seperti biasa, namun dengan tatapan mata yang belum sepenuhnya terjaga.

Aroma kopi menyusup dari lantai bawah—tapi ini bukan aroma kopi sachet Tim, si pesuruh kantor Albert. Ada sesuatu yang... sungguh menggoda.

“Oh, ini jelas bukan kopi Tim,” gumam Danny, hidungnya mengendus seperti kucing. Dengan langkah pelan namun pasti, ia mengikuti jejak aroma itu menuju ruang makan bernuansa kayu.

Di sana, Celia sudah berdiri. Rambutnya disanggul rapi, apron hitam tipis di pinggang. Ia tengah menakar biji kopi ke dalam alat seduh elegan berlapis krom. Ada ritual dalam setiap geraknya—seolah pagi itu adalah altar, dan kopi adalah persembahannya.

Lucas duduk tanpa banyak suara. Danny, tentu saja, langsung berdiri di sebelah Celia, penasaran dan cerewet seperti biasa.

“Selamat pagi, Lucas,” sapa Celia tanpa menoleh, tetap sibuk.

“Pagi,” sahut Lucas singkat.

“Kau mau kopi?” tawar Celia, suaranya tetap tenang.

“Tentu.”

“Hei!” protes Danny, mengangkat tangan. “Aku yang ngajak bicara dari tadi, loh. Aku juga mau kopi.”

Celia hanya tertawa kecil. “Aku tahu, kau tidak perlu ditawari lagi.”

Mesin kopi berdesir pelan saat biji kopi digiling halus. Aroma pekat memenuhi udara—menenangkan dan membangunkan dalam waktu bersamaan. Proses itu seperti meditasi, dan Celia... seperti seorang penyihir kecil yang tahu kapan harus menunggu, kapan harus menyeduh.

Pintu berdesis terbuka. Mason masuk sambil memegang piring berisi buah potong dan yogurt; rambutnya masih sedikit berantakan.

“Wah, akhirnya ada yang bisa diajak sarapan. Biasanya cuma aku dan Celia,” katanya sambil duduk.

Tak lama, Elysia muncul—lebih segar dari semalam, meski sorot matanya masih menyimpan sisa-sisa malam panjang.

Lihat selengkapnya