Echoes Between Us

Elaris Septembre
Chapter #9

Echo in The Wall

Sore itu, matahari mulai tenggelam perlahan, meninggalkan semburat ungu tua yang merayap di antara langit dan bayangan gedung. Tim lainnya tengah beristirahat sejenak setelah hari yang melelahkan, tapi Lucas masih terpaku di ruang kerja utama. Tangannya lincah mengguratkan garis di udara—denah virtual bermunculan mengikuti tiap goresan pensil digitalnya yang melayang di atas layar holografik. 

Matanya tak lepas dari proyek di hadapannya, seolah dunia luar telah dikecilkan menjadi sekadar latar kabur. Mason yang melihat Lucas masih bekerja, mendekat dengan dua botol minuman ionik, meletakkan satu tanpa diminta.

Danny menyusul dari belakang sambil menguap besar, lalu merebahkan dirinya pada sebuah sofa besar yang ada di pojok ruangan.

“Kau kerja terlalu keras. Adaptasi itu boleh, tapi apa kau tidak merasa kasihan pada otakmu?” tanya Mason setengah bercanda, sambil menaruh lengannya diatas bahu Lucas dengan acuh. Sebuah gesture yang terlalu friendly untuk seorang Lucas, namun ia tak bergeming, tak juga mempermasalahkan.

 "Aku datang untuk bekerja, bukan untuk bersosialisasi," ujar Lucas tanpa menoleh.

“Ya ampun, serius sekali temanmu ini,” Mason beranjak, beralih bicara kepada Danny, sambil menepuk pundah Lucas ringan.

“Begitulah bosku,” timpal Danny, duduk sambil meregangkan tubuhnya. Tak lama, Elysia masuk. Ia membawa beberapa buku konvensional dan langsung duduk di meja sebelah, membuka halaman tanpa banyak suara. Tapi matanya sesekali mencuri dengar percakapan para pria itu.

Celia datang terakhir, membawa nampan penuh camilan manis dan—tentu saja—kopi andalannya. Ia membagikan semuanya seperti ritual sore yang diam-diam dinanti.

“Kau kerja keras atau lari dari sesuatu?” tanya Mason lagi iseng.

“Kau tidak tahu bedanya?”

Mason tertawa, memiringkan kepala menatap wajah Lucas yang dingin.

“Setidaknya aku tahu kau punya mata yang bicara lebih banyak dari mulutmu,” Danny memperhatikan mereka berdua, mengernyit curiga.

“Hei , tunggu. Apa kalian sadar, mata kalian berdua mirip,” Celia ikut memperhatikan karena ucapan Danny itu.

“Kau benar, mereka punya dua mata hijau yang unik. Pantas aku seperti merasa familiar waktu pertama melihat Lucas.”

“Hijau topaz yang menyala,” sahut Elysia tanpa memalingkan wajahnya pada buku dipangkuannya. Mason tersipu, entah ia merasa itu seperti pujian atau yang lain.

“Hei, mataku juga hijau! Lihat nih!” Danny maju mendekat ke wajah Celia.

Celia tanpa ragu mendorong wajahnya menjauh. “Matamu hijau buluk. Seperti kain lap dapur Isaac yang nggak diganti sejak zaman Orion belum punya jam.”

Tawa pecah serentak diruangan itu. Danny berpura-pura tersinggung, tapi semua tahu ia menikmatinya.

“Tega sekali kalian pada pria sekarismatik ini,” keluhnya, sambil mengintip apakah Celia setidaknya merasa bersalah—tentu saja tidak. Celia justru menyeruput kopinya dengan anggun, seolah tidak pernah mengucap hinaan paling jenius sore itu.

“Aku tidak akan terlibat lebih jauh pada konspirasi konyol kalian saat ini,” Ujar Lucas malas.

Nada suaranya datar, tapi netral. Seperti biasa. Namun sorot matanya tetap terjaga, mencuri sedikit ketenangan dari kehangatan sore itu.

Mason hanya menatapnya. Lama. Diam. Ada sesuatu dalam cara Lucas duduk di bawah cahaya lampu redup itu—terlalu tenang untuk orang yang baru datang kemarin, tapi juga terlalu rapuh untuk disebut betul-betul tenang. Seolah dalam dirinya ada celah, tempat dunia bergaung lebih nyaring dari luar.

Lihat selengkapnya