Danny memutuskan untuk pergi dahulu mencari Mason. Elysia tak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan dan menatap batang pohon yang kini seolah kembali tertidur. Lucas merasakan dingin di buku-buku jarinya—getaran hebat yang ia rasakan saat menyentuh pohon tadi telah mereda, tapi berganti dengan rasa mual yang menyesakkan, seperti tubuhnya sedang menolak sesuatu yang lebih dari sekadar fisik.
"Apa kau bisa bawa aku ke ruang interferensi emosi?" Lucas mengumpulkan kesadaran sebanyak yang ia bisa. Tanpa sadar, tangannya mencengkeram lengan Elysia cukup kuat.
"Kau baik-baik saja?" tanya Elysia, khawatir.
Lucas mengangguk lemah. Tenggorokannya tercekat, lidahnya terasa pahit.
"Tolong... bawa saja aku ke sana."
"Kau bisa berjalan sendiri?"
"Ya," jawabnya pelan.
Elysia membawa Lucas keluar kembali ke lorong. Tangannya memapah lengan Lucas, takut pria itu tiba-tiba ambruk. Langkah mereka perlahan, namun pasti. Lampu-lampu lembut di lantai menyala mengikuti langkah mereka—berpendar biru terang, seperti gema kaki dalam air. Lorong itu sunyi, seolah udara sendiri menahan napasnya.
Begitu mereka sampai di ujung, pintu pirus mengkilap terbuka otomatis dengan desisan nyaris tak terdengar. Aroma samar bunga gerbera sintetis dan kayu cedar menyambut mereka—aroma yang tidak sekadar harum, melainkan hasil rekayasa molekuler untuk menenangkan sistem saraf manusia. Isaac menggantinya setiap minggu, seakan menyesuaikan dengan ritme emosi seluruh rumah.
The Interference Chamber, begitu nama resminya tertera di panel holografik di atas pintu, adalah ruang yang tampak seperti perpanjangan dari pikiran manusia, sebuah sanctuary psikis yang memanifestasikan apa yang tersembunyi di balik ketenangan.
Dari luar, ruang ini terlihat seperti bagian dari galeri meditasi: bersih, minimalis, dengan dominasi warna putih hangat dan dinding setinggi langit. Namun di dalamnya berdenyut satu sistem canggih bernama ThermoSynchub—modul semi-manual yang memungkinkan ruang itu "beresonansi" dengan kondisi mental dan batin penggunanya.
Ruangan ini dinamai Interference bukan karena ia mengganggu, tapi karena ia menyentuh. Ia tidak pasif; ia membaca. Dan menawarkan cerminan, atau pelukan. Ia seperti mimpi, tapi bisa dipilih.
Di tengahnya, sebuah sofa lembut berwarna abu terang menghadap jendela melengkung besar yang memancarkan cahaya redup keemasan. Tapi Lucas tahu, itu bukan jendela biasa.
"Ini...?" gumamnya pelan.
"Bukan sekadar jendela," jawab Elysia, mendekat. "Itu semacam portal emosi. Visualnya menyesuaikan dengan kondisi batin pengguna. Dan bisa berubah sesuai permintaan user."
Di sebelah sofa, sebuah pedestal transparan berdiri dengan bentuk ramping futuristik. Di atasnya, layar persegi seukuran telapak tangan menyala pelan—dikelilingi rune bercahaya lembut berbentuk spiral dan garis lengkung. Tepat di samping pedestal itu, sebuah bunga holografik melayang rendah, menyerupai teratai yang belum sepenuhnya mekar. Sulur-sulurnya menjuntai, nyaris menyentuh lantai.
Lucas menghela napas dan langsung menjatuhkan tubuh ke sofa dengan gerakan lelah. Bahunya tenggelam ke bantalan, seolah ruang itu memang diciptakan untuk menghapus beban.
Elysia berjalan perlahan ke pedestal. Ia menunduk untuk membaca tulisan di layar, rambut panjangnya jatuh, nyaris menyentuh bahu Lucas.
"Sepertinya..." bisiknya, jari telunjuknya menyentuh bagian bawah layar, "kamu harus letakkan tangan di sini. Sistem akan membaca kondisi emosionalmu, dan memilih suasana yang paling sesuai."
Lucas menatap ke arahnya, namun pandangannya kosong.
"Kau yakin baik-baik saja?" tanya Elysia, tanpa menoleh. Seperti menyadari tatapan Lucas.
"Aku... ya," jawab Lucas terlalu cepat. Defensif.
Elysia tidak mendesak. Ia hanya mengangkat wajahnya, mempersilakan Lucas mendekat. Lucas meletakkan tangannya di layar. Cahaya kehijauan memancar redup, lalu makin terang. Detik itu, sesuatu di dalam ruangan bergeser.
Ia mengangkat tangannya, lalu menekankan telapak pada layar itu. Cahaya kehijauan segera terpancar, membentuk lingkaran-lingkaran berpendar yang meluas seperti riak air. Detik itu juga, bunga holografik di samping pedestal mulai bergetar ringan... lalu mekar perlahan.
Begitu telapak tangannya menyatu dengan layar, udara dalam ruangan berubah.
Bunga holografik itu kini bersinar perlahan, kelopaknya membuka satu per satu—memancarkan cahaya hangat seperti napas tenang. Langit-langit ruangan meredup, cahaya matahari buatan lenyap digantikan senja yang perlahan merambat masuk, merayap di dinding-dinding putih yang mulai memudar, larut seperti kabut yang terseret waktu.
Jendela melengkung di hadapan mereka memudar. Dinding menghilang perlahan, berganti lanskap lain—bukan dunia luar, tapi dunia dalam.
Mereka kini berdiri di tengah sebuah halaman luas yang dikelilingi reruntuhan bangunan batu. Taman itu dipenuhi anggrek liar dan tanaman bercahaya biru yang tampak seperti bintang kecil tumbuh dari tanah. Di kejauhan, pepohonan dengan daun berpendar menyambut angin senja yang nyaris tidak terdengar. Kolam bundar di tengah halaman memantulkan langit malam seperti cermin remang, seolah menyimpan rahasia yang tenggelam di dasar.
Di dekat kolam itu, berdiri dua kursi batu menghadap ke arah air. Di salah satunya, cangkir teh hangat mengepulkan uap tipis. Cangkir itu... tidak pernah kosong. Tapi kursi di sebelahnya tetap kosong.
Selalu kosong.
**