Pagi di rumah Isaac datang tanpa salam—udara di koridor terasa lebih dingin, lebih sunyi. Seolah dinding-dindingnya tahu sesuatu telah bergeser sejak kemarin, namun memilih bungkam.
Lucas dan Danny masuk melewati pintu utama yang terbuka otomatis. Langkah mereka pelan, tapi ada ketegangan halus di antara keduanya. Tidak seperti biasa, tidak seperti dua sahabat yang habis pulang dari petualangan kecil. Mereka membawa pulang sesuatu yang lebih berat dari data—keraguan.
Di ruang kerja utama, Celia sudah duduk dengan laptop transparan di pangkuannya, jari-jarinya menari cepat di udara. Di seberangnya, Zack sedang memeriksa ulang blueprint sensor emosi SEED, headphone-nya tergantung malas di leher.
“Hai,” sapa Celia tanpa mengangkat kepala. “Kalian semalam ke mana?”
“Tahan dulu interogasi nya,” sahut Danny cepat. Tapi suaranya agak serak. Lucas hanya berjalan lewat tanpa menoleh, langsung menuju dapur.
“Aku akan buat kopi,” katanya datar.
Celia menoleh, menatap punggung Lucas yang hilang di balik dinding. Ia memandang Danny, mengangkat alis. “Apa yang terjadi?”
“Banyak,” gumam Danny, lalu duduk lelah di sebelah Zack.
Tak lama, Mason muncul dari koridor timur, membawa setumpuk dokumen holografik.
“Selamat pagi, para penjelajah kota.” Suaranya ringan, tapi sorot matanya penuh evaluasi. “File yang kuminta siap?”
Danny mengangguk. “Sudah ku-email semalam.”
Mason menyipitkan mata, mencium sesuatu yang tak dikatakan. “Kemana kalian?”
“Distrik 17,” ujar Danny. Ia menguap, lalu bersandar ke meja. Itu cukup untuk membuat semua orang berhenti sejenak, meskipun Zack masih sibuk dengan dunianya sendiri.
“Jangan tanya kami ngapain aja. Lucas bisa membunuhku dengan tatapan laser-nya kalau aku ngomong lebih dari yang perlu.”
Sementara itu, Elysia—yang bangun agak siang karena mimpi buruk tentang ibunya dan saudari kembarnya—membiarkan langkahnya membawanya ke The Forest Gallery. Ruangan itu kini terbuka, seolah telah memaafkan interupsi yang sempat menguncinya.
Elysia masuk, membiarkan daun-daun menjamah bahunya. Langit-langit kaca di atasnya memantulkan cahaya matahari pagi yang jatuh berkilau di atas hamparan tanaman tropis, paku-pakuan tinggi, dan deretan fiddle leaf fig yang tampak seperti berdiri menjaga rahasia hutan.
Tanaman-tanaman mulai berubah perlahan mengikuti musimnya, sesuai sistem yang telah di setting Isaac. Kecuali beberapa tanaman tetap seperti apa adanya. Mungkin itu yang diingatkan Mason beberapa hari lalu soal “tanaman kesayangan Isaac”.
Ia mendekati sisi kiri ruangan, di mana wisteria bergelantungan, menjuntai lembut seperti tirai ungu dari dunia lain. Tepat di bawahnya, ada camellia putih, mekar diam-diam tanpa suara.
“Camellia…” gumamnya. “Bunga pengabdian.”
Ia berjongkok, mengamati kelopak-kelopak yang hampir membentuk lingkaran sempurna. Di sekitarnya tumbuh mint liar, dan satu pot besar berisi nepenthes—tanaman karnivora yang tampak tenang tapi mematikan. Kontras yang menarik, pikirnya.
Langkah kaki menyusul dari belakang. Lucas masuk membawa satu cangkir kopi dan sebuah tablet kecil di tangannya.
“Sistemnya jalan normal,” katanya tanpa basa-basi, matanya menyapu kanopi tanaman di atas mereka. “Tiap panel suhu sudah aktif. Sensor pertumbuhan juga stabil. Dan pohoh aneh itu.. Juga sudah kembali normal–sepertinya.”
Elysia hanya mengangguk. “Ia sudah kembali tenang. Apa kau sudah tau apa fungsi pohon ini?”
“Ah, ya. Terima kasih sudah mengingatkanku. Aku akan bertanya pada Mason nanti”. Lucas menatapnya sejenak. Lalu ia menunjuk satu tanaman kecil di dekat mereka.
“Salvia elegans. Bunga yang tumbuh saat seseorang merasa cukup percaya untuk membuka hati.”