Echoes Between Us

Elaris Septembre
Chapter #18

When Wounds Begin to Whisper

Beberapa jam kemudian, langit Orion malam itu seperti kanvas hitam yang malas. Tak ada bintang, tak ada bulan—hanya pantulan cahaya neon dari kota yang menggantung lesu di balik jendela kaca.

Elysia memejamkan mata perlahan. Ia duduk di sudut kamarnya, menatap ke arah jendela besar dengan pemandangan malam Orleans Orion yang tenang. Jam tangannya bergetar lembut—20.00. Ia bergegas bangkit, menyambar baju hangat yang tergantung di kursi, lalu memakainya.

Langkahnya cepat menuju Interference Chamber. Saat pintu meluncur terbuka dengan desis halus, ruangan itu telah berubah bentuk.

Kini menyerupai taman senja yang ditinggalkan musim. Langitnya buram, seperti kanvas tua yang telah dilukis ulang berkali-kali. Pohon-pohon tanpa daun berdiri diam, bayangannya memanjang di atas tanah berbatu yang lembab.

Lampu-lampu gantung melayang perlahan di udara—redup dan kuning pucat, seperti lampu jalan yang menua. Kabut tipis menggantung di permukaan, membingkai siluet Mason yang duduk sendiri di bangku kayu usang, tangannya terselip dalam mantel gelapnya. Di sampingnya, seekor burung kertas mengambang, melayang tanpa arah, terbentuk dari not-not lagu yang belum selesai ditulis.

Ia tak menoleh saat Elysia masuk. Maka Elysia memanggilnya pelan.

“Mason?”

Mason seolah terbangun dari lamunan yang berlapis-lapis.

“Ah—kau sudah datang. Sini, Ely. Duduk di sini.” Ia menepuk bangku kosong di sebelahnya. Elysia menurut, lalu mengikuti arah pandang Mason ke langit buatan di atas mereka.

“Menenangkan,” gumamnya. Mason mengangguk setuju.

“Jadi, apa yang ingin kau ketahui dariku?” tanyanya kemudian, masih menatap langit. Memberi ruang bagi Elysia untuk merangkai kalimatnya.

Sejenak, hanya ada diam.

“Mason,” suara Elysia nyaris tenggelam dalam atmosfer lembut ruangan itu, “kau tahu... aku tidak terlalu percaya pada ingatan.”

Mason menoleh, alisnya terangkat sedikit.

“Karena mereka bisa kabur?”

“Karena mereka bisa dibuat-buat.”

Ia menatap cakrawala digital di depan mereka, yang kini dipenuhi bintang jatuh palsu—kode visual dari sistem yang mencoba membangkitkan rasa ‘nostalgia’.

“Apa Paman Isaac pernah cerita... tentang bagaimana ia menemukanku?”

Mason diam. Suaranya akhirnya terdengar, tenang dan berat.

“Sesekali. Kurasa... ia sering bercerita tentang masa lalu.”

“Kalau begitu, kau tahu tentang ayah kandungku?”

Mason mengangguk pelan. Tatapannya kini serius, seolah menanti sesuatu yang lebih besar.

“Paman bilang padaku... bahwa ia menemukanku di antara puing-puing itu. Tak sadarkan diri. Semuanya telah jadi abu dan api. Tapi entah kenapa, semakin aku tumbuh dewasa, aku sadar... aku nggak pernah benar-benar mengingat detilnya. Siapa yang bersamaku. Apa yang kulihat. Apa yang membuatku sendirian. Semuanya cuma... kabut.”

“Itu bisa jadi respons alami otak. Kau tahu... trauma bisa memotong memori.”

Elysia menunduk, tangannya menggenggam lutut.

“Tapi ada hal-hal yang terasa janggal. Seperti... aku tak bisa mengenali siapa ayahku, bahkan saat Isaac menunjukkan satu-satunya foto kami. Aku ingat ibuku. Dan saudari kembarku—Eleanor. Tapi aku tidak bisa mengingat Ayahku. Mereka terasa asing... bahkan makamnya tak pernah kudatangi.”

Lihat selengkapnya