Echoes Between Us

Elaris Septembre
Chapter #23

White Camellia and The Red Snows

Langit jingga pucat memucat di jendela ruang santai rumah Isaac, dimana Lucas dan Elysia duduk berdampingan di kursi panjang, tidak bicara, hanya memandang langit. Sesekali mereka menyesap teh chamomile hangat yang dibuatkan Celia tadi.

“Apa kau benar-benar melihat langit di sana?” Elysia bertanya pelan.

Lucas mengangguk.

“Ya. Tapi bukan langit yang ingin kulihat.”

Elysia menoleh, tapi Lucas menatap ke depan. Tangannya mengencang sedikit di kaleng minuman.

“Tidak terlalu jelas. Hanya beberapa pemandangan acak dan gelap”. Lucas balas menatap. “Bagaimana denganmu? Apa yang kau lihat di dalam sana?”

Butuh waktu baginya untuk menjawab. Ketika akhirnya ia bicara, suaranya nyaris tak terdengar.

“Seseorang yang sudah lama tidak aku temui. Tapi... aku merasa kenal. Hangat. Matanya persis kayak mataku.”

Lucas menunduk sedikit. “Ibumu?”

“...Mungkin. Tapi sepertinya bukan. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Seperti tertutup sebuah kabut tipis.”

Lucas mengangguk, merasakan hal yang sama pada visualnya tadi, keduanya diam lagi. 

Hening itu bukan lagi karena canggung. Lebih seperti dua orang yang diam karena mereka saling mengerti. Tapi Elysia yang masih terbawa perasaan kalutnya sejak keluar dari Liminal-Sky tadi merasa ia harus mengeluarkan dan memperjelas perasaannya saat ini.

“Ibu-ku sudah lama meninggal..”. Elysia kembali bersuara, yang kini terdengar sedikit serak. “Dan Waktu aku kecil... aku punya saudari kembar,” lanjutnya ragu, nyaris seperti bisikan. “Namanya Eleanor. Dia lahir dengan penyakit langka—turunan dari ibu kami. Neural Degenesis Syndrome. Nama yang indah untuk sesuatu yang perlahan membunuhmu dari dalam.”. Tanpa disadari, bibirnya mengucap begitu saja, memori terdalamnya yang sudah lama ia ingin lupakan.

Udara di kamar itu seolah membeku, seakan waktu tahu ia sedang menyaksikan kepergian yang pelan-pelan. Di dalam sebuah kamar besar yang hanya diterangi cahaya lampu meja redup, Elysia yang berusia 8 tahun duduk di tepi ranjang dengan sebuah buku lusuh di tangan. 

Di sampingnya, seorang gadis dengan wajah yang sangat mirip dengannya—Eleanor, terbaring lemah di antara selimut putih yang tampak terlalu besar untuk tubuh sekurus itu.

Kulit Eleanor semakin pucat, nyaris transparan. Matanya masih berkilau, tapi lebih sering kosong, seolah jiwanya hanya tinggal separuh di tubuhnya. Elysia menyibak rambut kakaknya dengan lembut, menyelipkannya ke belakang telinga, lalu mulai membaca pelan-pelan.

“Di dunia yang lain, ada langit yang warnanya bukan biru... tapi ungu keperakan. Dan tanahnya memantulkan cahaya, seperti kaca...”

Eleanor terkekeh kecil, suaranya serak tapi hangat. “Kamu bohong.”

Elysia tersenyum. “Iya sih, tapi kamu suka kan kalau aku bohong soal hal-hal cantik?”

Eleanor mengangguk, lalu menutup mata sejenak. Setiap tarikan nafasnya terdengar berat. Neural Degenesis Syndrome—penyakit langka yang perlahan meluruhkan saraf dan kesadarannya. Hingga tubuhnya tak lagi merespons, dan pikirannya seperti terjebak dalam kabut. Kadang ia lupa di mana ia berada. Kadang ia lupa bahwa ia masih hidup.

Seolah waktu mencabik pikirannya sedikit demi sedikit, sampai kenangan dan rasa pun mulai lepas dari tempatnya. 

“Kadang aku mimpi... tapi mimpi itu suka nggak selesai. Kayak... layar rusak.” gumam Eleanor, matanya masih terpejam. “Aku takut. Takut bangun tapi lupa kamu siapa… Seperti ibu, disaat terakhirnya kemarin..”

Elysia menggenggam tangan dingin itu lebih erat. “Kamu nggak akan lupa. Aku yang bakal terus ingetin kamu. Kalau perlu, tiap hari.”

Sejak sang ibu meninggal—karena penyakit yang sama—ayah mereka berubah. Dulu sangat penyayang, tapi sekarang... tidak ada yang tersisa selain amarah, ketakutan, dan suara langkah berat di lorong rumah yang sunyi. Ia mulai mengunci pintu, membentak untuk hal kecil, dan kadang... tangan besarnya terlalu cepat terangkat, memukuli dua gadis kecil itu, lalu saat tersadar ia mengurung dirinya sendiri diruang penelitiannya, berjam-jam, berhari-hari. Tidak ada yang mengurus mereka. Ayahnya terlalu terluka setiap melihat kondisi Eleanor yang, terlalu mirip dengan kondisi istrinya sebelum meninggal.

Belum lagi, ayah mereka adalah seorang ilmuwan yang sangat hebat, banyak pihak yang ingin menyalahgunakan teknologi yang dikembangkan ayahnya. Itu membuat ayahnya merasa semakin gila karena selalu diteror dan hidup dengan tidak tenang. Mereka tidak punya keluarga lain yang dapat melindungi mereka selain ayah mereka.

Ayahnya bahkan memberi mereka berdua nama samaran. Dan selalu mengancam serta memukul Elysia, mengingatkannya untuk tidak pernah sekalipun menyebutkan nama aslinya kepada orang asing diluar sana. Elysia kecil yang saat itu tidak mengerti, kenapa ia harus menjadi orang lain? Kenapa ayahnya selalu bertindak diluar keinginannya? Kenapa ayahnya selalu egois?

Karena itu, Elysia sering menyelinap keluar malam-malam atau pagi-pagi buta disaat ayahnya masih terlelap karena berbotol-botol minuman keras yang ditenggaknya tadi malam, melewati pintu belakang rumahnya, melompat pagar belakang demi melihat dunia yang masih indah—dan setiap pulang, ia membawakan cerita. 

Cerita tentang langit ungu, danau berkilau, jendela toko dengan lampu warna-warni, orang-orang yang tersenyum, dan pasangan yang tertawa sambil berboncengan sepeda, tentang anak laki-laki tetangga mereka yang selalu mengajaknya bermain, atau mungkin tentang seekor kucing liar kecil yang selalu ia beri makan dengan sisa remahan roti yang dibawanya dari rumah.

Itu semua bukan sekadar dongeng. Itu jendela kecil bagi Eleanor... ke dunia yang mungkin takkan pernah bisa ia lihat sendiri.

“Aku pengen lihat bunga camelia putih yang kamu ceritakan kemarin…” Eleanor membuka matanya lagi, pandangannya seperti menembus atap, menatap langit.

Elysia tersenyum. “Nanti... kalau kamu udah sembuh, kita akan tanam sendiri di depan rumah. Biar kamu bisa lihat tiap pagi.”

Tapi bahkan saat ia berkata begitu, Elysia tahu... beberapa bunga tak sempat mekar sebelum musimnya berganti.

Lihat selengkapnya