Malam itu, udara di kamarnya lebih dingin dari biasanya. Langit di luar jendela pekat—tanpa bintang, tanpa gema lampu kota. Awan hujan yang tertinggal menggantung seperti sisa tangisan yang belum selesai. Seolah langit pun memilih diam… bersimpati pada kegelisahan Lucas yang tak bernama.
Meski pemanas ruangan menyala dengan suhu rendah, namun peluh mengalir di pelipisnya. Napasnya berat, tubuhnya menggigil dalam kesunyian yang tak bisa ia namai. Seperti terjebak di antara dua musim, panas dari demam yang tak punya penyebab, dan dingin dari sesuatu yang mencoba bangkit dari kedalaman kenangan.
Lucas berbaring menyamping. Matanya terbuka separuh, tapi ia tidak benar-benar melihat.
Ia tahu… malam ini, mimpi itu akan datang lagi.
Dan benar saja.
Tapi kali ini, ia tidak langsung melihat. Ia hanya... mendengar.
Gema.
Detak.
Bunyi samar mesin tua yang menyala pelan. Mendengung seperti napas terakhir sebuah ingatan yang sekarat.
Lalu… suara langkah. Hujan.
Dan dari kegelapan, visual mulai membentuk. Retak. Pecah. Lalu menyambung paksa.
Kaki kecil Lucas menghantam tanah basah tanpa henti. Nafasnya memburu, dada kecilnya terbakar oleh udara dingin. Bau busuk dari bangkai tikus dan tanah lembap menusuk inderanya—bau hutan kecil di balik kompleks perumahan tempat ia dulu tinggal. Tapi malam ini, hutan itu terasa seperti kuburan terbuka.
“Ma.. Mamaa!” Suaranya tercekat. Parau. Panik.
“Eliass!”
Tak ada jawaban.
Hanya raungan binatang dari kejauhan, dan suara langkah kakinya sendiri—satu-satunya saksi bahwa ia masih hidup. Angin menusuk lewat celah bajunya. Jari-jari kakinya mati rasa. Tanah di bawahnya licin dan penuh serpihan kayu tajam, tapi ia tak berhenti.
Duri menggores kakinya dan ranting mencambuk wajahnya, tapi ia terus berlari, mengoyak semak-semak liar… mencari cahaya.
Dan ia menemukannya.
Cahaya samar di kejauhan, menembus pepohonan gelap. Seolah harapan itu sendiri sedang menunggu di ujung hutan.