Mobil hitam itu kembali meluncur keluar dari lorong bawah tanah Aethra, menembus batas kota menuju wilayah yang terasa seperti dunia lain. Jalanan mulai lengang. Garis-garis cahaya dari lampu jalan memantul lembut di permukaan mobil, menyinari jalur utama dengan ritme yang tenang.
Ketika teks holografik di dasbor menampilkan:
D-18: Vireon, udara di dalam kabin seolah berubah—lebih sejuk, lebih tertahan.
“Anda telah tiba di tujuan. Distrik Delapan Belas—Vireon. Waktu menunjukkan pukul 14.00. Suhu luar 20 derajat. Apakah Anda ingin mengaktifkan mode hangat?”
Sebuah hologram berbentuk gelombang suara muncul di sisi dasbor, suara asisten AI mobil Isaac seolah menyadari Lucas dari lamunan.
“Tidak perlu,” sahut Mason cepat, matanya masih menatap keluar.
Trotoar bersih. Pagar rumah mengkilap, masing-masing dengan ukiran emblem militer. Bangunan berdiri tegak dalam simetri yang nyaris menakutkan. Tak ada hiruk-pikuk, tak ada neon berkedip. Hanya keheningan yang rapi, seperti parade yang sudah selesai, tapi masih dijaga dengan hormat.
Lucas memperlambat laju mobil ketika mereka melewati gerbang pengecekan. Seorang penjaga pria berusia empat puluhan yang memakai pakaian militer duduk didalam postnya. Wajahnya dingin dan sangar, namun ekspresi nya langsung berubah ketika melihat Lucas yang ada dibalik kemudi.
“Ah, Lucas! Sudah lama kau tak pulang,” ia menyapa Lucas dengan ramah, mengangkat topi militernya seperti tanda hormat.
“Hai, Laurent. Apa kabar?” pria yang disapa Laurent itu tersenyum lebar, sambil menyodorkan sebuah alat seperti mesin scanner.
“Selalu baik! Maaf hanya formalitas,” ujarnya, Lucas lalu mengulurkan tangannya yang mengenakan jam. Alat itu memindai barcode hologram yang muncul dari jam Lucas, kemudian memberikan notifikasi:
[User identified_Access Granted]
“Temanmu?” ia menunjuk ke arah Mason, Lucas mengangguk singkat.
“Baiklah, aku rasa tak perlu double sistem. Silahkan masuk.”
Gerbang gate itu kemudian bergeser terbuka, seiring dengan mobil mereka yang kembali melaju perlahan.
Mason menoleh ke luar jendela, mengamati kompleks perumahan yang bergaya fungsional namun elegan. Terlalu rapi. Tidak ada yang berlebihan. Tidak ada yang manusiawi.
“Tempat yang terlalu sepi selalu membuatku gelisah,” gumam Mason, setengah bercanda.
Lucas tidak menanggapi. Tatapannya sudah terpaku pada rumah di ujung blok. Sebuah hunian rendah berdinding abu pucat, dengan bendera kecil Orion terpasang di dinding samping—sudah kusam, tapi tidak dibiarkan jatuh.
Mobil berhenti.
“Jujur aku baru pertama kali masuk ke kandang militer,” ujar Mason terkesiap. Lucas menoleh pelan.
“Ini bukan markas. Hanya kompleks khusus keluarga dan pensiunan militer.”
Lucas turun lebih dulu. Kakinya menjejak jalan yang terlalu akrab, terlalu tenang untuk perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Mason menyusul dibelakangnya, menatap takjub pada bangunan-bangunan perumahan yang minimalis—namun entah mengapa terasa mewah.
“Kau punya keluarga anggota militer?” Mason terus bertanya karena penasaran.
“Ya. Kakekku. Tapi beliau kakek angkat.”
“Menarik,” gumam Mason. “Apakah beliau tertarik mengangkat satu cucu lagi?”
Pintu rumah terbuka sebelum Lucas menjawab. Seorang pria berpakaian seragam perawat militer berdiri di ambang pintu.
“Lucas,” ucapnya lega. “Akhirnya kau datang.”
Lucas mengangguk pelan. “Apa kabar paman Jareth?” Lucas memeluk pria yang itu, menandakan mereka sudah saling mengenal cukup lama.
“Baik, selalu baik.”
“Bagaimana dengan kakek?”
“Masih seperti biasa... mungkin sedikit lebih gelisah hari ini. Tapi tadi pagi dia menyebut namamu. Dua kali.” Senyumnya sayu, tapi hangat.
Ia melirik ke arah Mason. “Temanmu?”
“Ya, rekan kerja,” jawab Lucas singkat.
“Mason,” Mason menjabat tangan paman Jareth dan sedikit membungkukkan kepala. Tapi matanya sudah bergerak menelusuri interior rumah dari ambang pintu—lantai marmer tua, rak trofi, dan deretan foto hitam-putih berpigura logam. Semua terasa... penuh beban sejarah.
“Masuklah. Dia di halaman belakang,” ujar sang perawat. “Tapi jangan terlalu berharap banyak. Terkadang dia mengenali orang. Terkadang dia tidak.”
Lucas melangkah masuk. Aroma khas ruangan tua menyambutnya: campuran antiseptik, kayu lama, dan sedikit aroma kopi basi yang entah dari mana.
Mason mengikut beberapa langkah di belakang, lalu matanya tertumbuk pada sesuatu:
Sebuah medali logam tergantung di bawah foto tua di dinding. Terukir nama lengkap dalam aksara militer.
Edward Silvano.
Mason menyipitkan mata. Nama yang umum, gumamnya.
Mereka menuju halaman belakang. Anehnya, tanaman-tanaman musim panas tumbuh subur di halaman belakang rumah itu—seperti menolak tunduk pada musim. Daun-daun berbentuk pipih panjang tampak memantulkan cahaya dari langit-langit kaca semi-transparan. Rumah ini mungkin tua, tapi sistem pendukung hidupnya masih sekelas fasilitas utama di pusat kota. Atau bahkan lebih canggih.