Rumah Isaac terasa lebih dingin dari biasanya, seolah malam menahan napas di lorong-lorongnya. Lampu gantung menyala redup, memantulkan bayangan di lantai kayu dan mengaburkan dinding-dinding yang terlalu banyak menyimpan rahasia. Ketika Mason dan Lucas tiba, mereka menemukan Celia di ambang kamar, kedua tangannya menggenggam ponsel dengan erat.
“Aku menemukan Isaac tak sadarkan diri di Forest Gallery. Dia belum bangun sejak sore.” Suara Celia nyaris patah di ujung kalimat.
Mason mengangguk cepat, berjalan keluar ruangan dan dengan segera menghubungi seseorang—gerakan tubuhnya tegang, nyaris mekanis.
Lucas melewati Celia, mendekati Elysia yang duduk diam di sisi ranjang. Di hadapannya, tubuh Isaac terbaring kaku, kulitnya pucat di bawah sorot lampu kuning. Wajah itu lebih tua dari yang pernah Elysia lihat, lebih rapuh, seolah dunia telah mencuri sesuatu darinya diam-diam.
Ibuku dulu begini juga, gumam Elysia dalam batin. Saudari kembarku pun… ketika tubuhnya menolak dunia, mereka hanya bisa menunggu dalam diam, seperti sekarang.
Mason kembali ke ruangan dengan kursi roda, mengatur posisi Isaac dengan cekatan. “Dokter pribadi Isaac dalam perjalanan. Kita pindahkan dia ke ruang medis, sekarang.”
“Ruang medis?” Elysia bertanya pelan, nadanya setengah tak percaya.
Mason hanya mengangguk, matanya tak mau bertemu tatapan siapa pun. “Sudah waktunya kalian tahu.”
Dengan hati-hati mereka memindahkan tubuh Isaac, menuntunnya melewati lorong-lorong yang biasanya tertutup untuk siapa pun kecuali dirinya dan Mason. Setiap langkah menumbuhkan ketakutan baru dalam hati Elysia—ia tahu, sesuatu sedang berubah malam ini.
Lorong itu membawa mereka ke sebuah pintu logam, tersembunyi di balik panel kayu. Mason menekan kode khusus, dan pintu terbuka, menghela aroma antiseptik dan udara dingin ke luar.
Ruang medis di rumah Isaac tampak seperti laboratorium masa depan—serba putih, dipenuhi cahaya biru muda yang mengalir di sepanjang dinding dan lantai. Di tengah ruangan berdiri ranjang perawatan berteknologi tinggi, dikelilingi lengan-lengan robotik dan panel kontrol digital yang melayang di udara.
Di belakang kursi, sebuah portal raksasa bercahaya biru berdiri seperti gerbang dimensi lain, dengan titik-titik cahaya yang terus bergerak membentuk pola data. Monitor tipis menggantung di dinding, menampilkan grafik biometrik real-time—semua bekerja nyaris tanpa suara, hanya ada dengungan halus teknologi canggih.
Di sini, segala sesuatu terasa steril, sunyi, dan sedikit tidak nyata—seolah ruangan ini adalah perbatasan tipis antara harapan dan rahasia.
Lucas dan Mason menempatkan Isaac di ranjang, memasang konektor neuro pada pelipis dan dadanya. Layar di kepala ranjang segera memproyeksikan grafik—gelombang otak yang bergerigi, detak jantung yang seperti menari melambat di ambang ketidakpastian.
Celia berdiri di belakang Elysia, tangannya memberi tekanan lembut di bahu.
“Dia akan baik-baik saja,” bisiknya. Tapi Elysia tahu, kalimat seperti itu tidak pernah benar-benar menyembuhkan rasa takut.
Tuhan, aku bahkan tidak percaya pada mujizat… tapi malam ini aku menginginkannya lebih dari apa pun.