Aku melesat di langit fajar, tongkat sihirku meninggalkan jejak kabut berkilauan di belakang. Udara pagi yang sejuk menyapu wajahku, membawa aroma embun dan kesegaran hutan di bawah. Rambut pendek pirangku berkibar di udara, menari mengikuti arah terbangku menuju timur. Di bawah sana, dunia terbentang bak permadani penuh warna, menyajikan pemandangan yang tak pernah gagal membuatku terpesona.
"Demi roh-roh kuno," aku bergumam, mataku membelalak, mengagumi keindahan di bawah. "Meski ribuan tahun berlalu, dunia ini tetap tak pernah berhenti membuatku takjub."
Di bawahku, hutan yang rimbun membentang sejauh mata memandang, kanopinya berwarna zamrud dan giok yang berkilau di bawah cahaya matahari terbit. Puncak-puncak pohon memancarkan kilau keemasan, menciptakan lautan hijau yang berkilauan dalam sinar pertama pagi itu. Aku menukik rendah, membiarkan ujung jariku menyapu lembut dedaunan yang dingin dan segar di bawah sana.
Sebuah sungai kristal yang mengalir deras memotong hutan di kejauhan, airnya berkilauan seperti berlian di bawah cahaya pagi. Di tepinya, aku melihat sekumpulan unicorn yang sedang minum. Bulu mereka yang berwarna mutiara memantulkan sinar dengan keanggunan yang tak wajar, seperti makhluk dari dunia lain.
"Sungguh menakjubkan," aku berbisik, senyum pahit tersungging di bibirku. "Andai saja kau masih di sini untuk melihat ini, kawan lama."
Aku melesat lebih tinggi, mengabaikan reaksi penduduk desa yang melihatku dari jauh. Sosokku di langit tak mungkin terlewatkan, tongkat sihir yang memancarkan cahaya dan aura yang memikat tak diragukan lagi menarik perhatian mereka.
Aku mengabaikan semua itu, hanya fokus pada lintasanku menuju timur. Dalam sekejap, desa itu menghilang dari pandanganku ketika aku terbang lebih tinggi melewati pegunungan Evra.
***
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan yang panjang, akhirnya aku tiba di Mariupol, sebuah kota dermaga kecil di wilayah kerajaan Elceria. Aku memilih mendarat di sudut kota yang sepi, jauh dari keramaian pusat kota. Dengan lembut, aku menurunkan tongkat sihir kardinalku ketanah, memastikan tak ada orang yang menyadarinya.
Kota itu dipenuhi aktivitas para pedagang sibuk menawarkan dagangan mereka, sementara penduduk lainnya menjalankan rutinitas harian tanpa hiruk pikuk. Pandanganku tertuju pada sebuah penginapan sederhana di sudut jalan yang tenang. Papan nama penginapan itu berderit pelan tertiup angin, menandai usia bangunan yang mungkin sudah tua.
Aku mendorong pintu kayu yang berat dan melangkah masuk ke dalam ruangan temaram yang dipenuhi aroma daging panggang dan bir. Kehangatannya langsung menyelimuti tubuhku yang lelah.
"Kamar untuk malam ini," ucapku ketika mendekati pemilik penginapan, sembari memberikan 3 koin perunggu kepadanya. Dia menatapku sekilas, namun tatapan itu berubah menjadi terpesona, entah oleh kecantikanku atau mungkin oleh aura sihir yang masih berpendar halus di sekitarku.
"Baik, Nyonya," gumamnya sambil menyerahkan kunci, matanya masih terpaku. "Naik tangga, pintu ketiga di sebelah kiri."
Aku menaiki tangga kayu yang berderit pelan, setiap langkah terasa lebih ringan meski tubuhku dipenuhi kelelahan. Karpet tua di sepanjang tangga memudarkan suara langkahku, dan ketika sampai di lantai atas, aku meraih kunci yang berat. Dengan sedikit dorongan, pintu kayu tua itu terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan sederhana, dinding-dinding pudar, tempat tidur dengan seprai bersih meski sudah lusuh, serta meja kayu kecil di sudut ruangan. Semuanya memancarkan kesederhanaan yang anehnya terasa nyaman.
Mengangkat tongkat sihirku, aku menggumamkan mantra pendek. Cahaya lembut muncul dari ujung tongkat, menyebar ke seluruh ruangan, memberikan kehangatan dan kehidupan pada perabotan tua yang berada di dalamnya.
Aku melepaskan pakaianku yang sudah lusuh, membiarkan semuanya jatuh ke lantai dengan sembarangan. Sebuah napas panjang keluar dari bibirku, lega setelah perjalanan panjang. Perlahan, aku menutup mata dan menggumamkan mantra pembersihan. Kabut lembut yang berkilauan menyelimuti tubuhku, menghilangkan setiap kotoran, debu, dan rasa lelah yang menempel di kulit dan rambutku. Aku merasa bersih kembali, kulitku seputih salju, dan rambut pirangku kembali berkilau lembut di bahuku.
"Ya, seharusnya berendam dengan air panas akan lebih melegakan pegal ku. Tapi ya sudahlah ini lebih dari cukup."