Aku menatap tameng yang terpasang kokoh di lengan Noland, tameng berwarna perak dengan batu inti kuning sebagai simbol kardinal di tengahnya yang seakan memancarkan aura magis. Permukaannya halus, tanpa retak atau goresan, seolah-olah tak tersentuh waktu. Perisai itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku melihatnya, puluhan tahun yang lalu. Tersenyum tipis, perasaan nostalgia melintas di benakku.
"Tameng itu… masih sama seperti dulu," kataku sambil menatap Noland dengan tatapan lembut. Suaraku terdengar penuh kenangan, meskipun wajahku tampak awet muda, seolah waktu tidak berpengaruh padaku. "Tak ada yang berubah, ya?"
Noland menoleh dan mengangkat alisnya. Keriput di wajahnya menunjukkan tanda-tanda bertahun-tahun yang dihabiskan dalam perjuangan. "Kau memperhatikannya?" Dia mengusap perisainya, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Aku pikir, kau tidak akan memperhatikan hal seperti ini."
Aku terkekeh kecil. "Bagaimana mungkin aku tidak memperhatikan senjata Kardinal? Lagipula, aku juga punya." Mengetukkan jari telunjukku ke tongkat sihir di sampingku, tongkat panjang berwarna keemasan dengan bentuk bulan sabit bintang di ujungnya, aku melanjutkan, "Mereka tidak berubah… sama seperti pemiliknya."
Noland menatap tongkat sihirku sejenak sebelum matanya kembali ke perisainya. "Benar, Senjata Kardinal memang tak pernah berubah. Hanya pemiliknya yang mungkin akan berganti," jawabnya pelan, nadanya penuh rasa hormat.
"Senjata-senjata ini adalah saksi dari sejarah, dari pertempuran dan kemenangan," kataku. "Meski kita sudah tidak bersama lagi, senjata-senjata itu tetap menjaga ingatan kita." Aku terdiam sejenak, menatap ke kejauhan, merasakan pengalaman yang mengalir dalam diri Noland. "Apa kau merasa berat, Noland? Menyandang gelar pahlawan perisai hingga sekarang?"
Noland menarik napas dalam, garis-garis keriput di wajahnya semakin terlihat. "Kadang-kadang, ya," dia mengaku. "Namun, aku merasa ada yang membimbingku. Aku selalu merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar tugas ini. Tameng ini… memberiku kekuatan dan keyakinan, seolah-olah aku harus melanjutkan sesuatu yang belum selesai."
Aku mengangguk, merasakan beban tanggung jawab yang diemban Noland. Ingat betul bagaimana rasanya memegang Senjata Kardinal di tangan, kekuatan yang mengalir melalui setiap serat tubuhku, menyatukan diriku dengan tongkat sihir itu. "Itulah mengapa kita dipilih," kataku. "Bukan sekadar untuk bertarung, tapi untuk menjadi bagian dari sejarah, meskipun kita sendiri mungkin tidak menyadarinya."
Melirik perisai Noland sekali lagi, aku menambahkan, "Itu adalah tameng yang selalu berada di sisi Pahlawan Perisai, melindungi yang tidak bisa dilindungi oleh siapa pun. Aku yakin, Noland, kau akan melakukan hal yang sama dengan baik."
Noland sedikit tersipu, merasakan beban kata-kataku. "Senjata Kardinal bukan sekadar senjata," dia berkata pelan, tetapi penuh tekad. "Mereka adalah bagian dari kita, dan bagian dari dunia ini."
Aku tersenyum lebar kali ini, kehangatan dalam tatapanku. "Aku senang kau mengerti itu. Ada saat-saat ketika aku berpikir bahwa kita, para Pahlawan Tujuh Bintang, tidak lebih dari kenangan yang hilang, bayangan masa lalu. Tapi melihatmu, memegang tameng itu dengan keyakinan… mungkin dunia ini masih memiliki harapan."
"Kau bicara seperti sudah menyerah saja," canda Noland, senyum kecil mengembang di wajahnya meskipun keriputnya semakin terlihat.
"Ah, tidak. Aku belum menyerah. Hanya… merasa sedikit tua," jawabku sambil terkekeh, senyumku cerah dan penuh semangat. "Tapi bukan berarti aku tak bisa mengayunkan tongkat sihirku lagi, atau mengingat hari-hari ketika kita berjuang bersama, dengan senjata ini di tangan."
"Oh, kau bicara seakan-akan dirimu sudah tua saja. Padahal kau tidak banyak berubah, kecuali mungkin gaya rambut dan pakaianmu," ucap Noland, dengan nada bercanda. Ada kehangatan dalam suaranya, membuat perasaan akrab itu semakin terasa.
"Ah, jadi kau memperhatikan ya," jawabku, tersenyum tipis. "Memangnya salah kalau sesekali ingin tampil berbeda? Mengenakan pakaian yang sama terus menerus itu membosankan, Noland. Setidaknya, aku bukan seperti lakon cerita yang tak pernah mengganti pakaian mereka," kataku sambil menyelipkan tawa kecil.