Kepala desa menunduk, merenungi kata-kataku. “Lalu, apa yang harus kami lakukan? Apakah kami harus mengusirnya dari desa?”
Aku berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepala. “Tidak, mengusirnya sekarang hanya akan memperburuk keadaan. Kita harus menyelidikinya secara diam-diam. Pastikan ada yang mengawasinya, tapi jangan sampai dia tahu.”
Kepala desa mengangguk penuh ketegasan. “Baik, Penyihir. Kami akan mengatur beberapa penduduk untuk berjaga-jaga.”
Aku menatap kepala desa dalam-dalam, memastikan ia benar-benar mengerti keseriusan situasi ini. “Dan jika dia melakukan sesuatu yang mencurigakan, segera selidiki dia.”
Kepala desa menatapku dengan keyakinan yang seolah-olah menular kepadaku. “Kami akan berhati-hati, Penyihir. Terima kasih atas peringatan Anda.”
Ada sedikit keraguan di balik tatapannya, seolah ia berharap aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Tapi aku tahu betul bahwa masalah seperti ini bukan urusanku, setidaknya bukan sekarang. Aku memiliki tujuan yang lebih penting di ibukota, yang cukup mendesak untuk kutunda.
"Nona Penyihir," suara Pak Kades terdengar ragu, "Jika berkenan, apakah tidak bisa Anda yang menyelidiki Pak Tendra? Anda memiliki kemampuan luar biasa, saya yakin masalah ini akan cepat selesai jika Anda yang turun tangan."
Aku menatapnya, berusaha menjaga ekspresi wajahku tetap tenang. Niatan Pak Kades baik, tapi aku tahu bahwa menyelesaikan masalah seperti ini tidak semudah yang dia bayangkan, perlu waktu lama. Selain itu, aku punya urusan yang lebih penting. Aku tersenyum tipis, meski dalam hati terasa sedikit berat.
"Pak Kades, saya memang bisa membantu, tapi saat ini saya harus segera pergi," jawabku dengan suara lembut. "Namun, untuk masalah Tendra, saya sarankan Anda menyewa jasa petualang dari guild kota setempat. Mereka lebih berpengalaman dalam hal ini dan tahu cara menyelidiki tanpa menarik perhatian yang tidak diinginkan."
Pak Kades terdiam sejenak, dan aku bisa melihat ekspresi di wajahnya yang mulai menerima kenyataan bahwa ku tidak bisa terlibat lebih jauh. Wajahnya sedikit memucat, beban tanggung jawab seolah menekan bahunya. Namun, akhirnya ia mengangguk pelan.
"Saya mengerti, Nona Penyihir," katanya dengan suara pelan, mencoba menerima keputusan yang harus diambil. "Terima kasih atas nasihatmu."
Aku mengangguk hormat dan melangkah keluar dari balai desa. Begitu aku keluar, udara segar menyentuh wajahku, membawa perasaan lega meski tidak sepenuhnya lepas dari kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi di desa ini. Aku tahu, meskipun aku sudah pergi, situasi itu tetap akan mempengaruhi mereka.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk meninggalkan desa. Setelah berpamitan dengan warga, mereka menyampaikan doa dan harapan terbaik untukku. Aku merasa sedikit lebih terhubung dengan mereka meski hanya singgah sebentar, dan ada perasaan kelegaan yang datang dengan meninggalkan tempat ini. Namun, perasaan itu segera tergantikan oleh bayangan ibukota, yang memanggilku untuk segera melanjutkan perjalanan.