Beberapa langkah setelah melewati gerbang utama ibu kota, aku terpesona oleh keindahan Elceria. Kota ini benar-benar mencerminkan kemegahan dan kekuatan Kerajaan Elceria. Jalan-jalan lebar yang dipenuhi kerumunan orang terasa hidup, dengan para pedagang yang sibuk menawarkan barang-barang mereka, bangsawan yang berjalan dengan pakaian mewah, dan warga kota yang menjalani hari-hari mereka dengan penuh semangat. Gedung-gedung batu berukir, tinggi dan megah, menjulang ke langit, memberi kesan akan tradisi yang kaya dan sejarah yang panjang.
Dari kejauhan, terlihat sebuah proyek besar yang tengah berlangsung. Patung yang setengah jadi itu jelas menampilkan sosok Luci, sang Pahlawan Pedang. Meskipun belum selesai, detail wajahnya yang anggun namun penuh ketegasan mulai tampak. Patung itu menggambarkan Luci dengan pedangnya yang diangkat tinggi, simbol keberaniannya dalam melawan segala ancaman. Para pekerja terus menambahkan ukiran dan detail, sementara penduduk kota terlihat berhenti sesekali untuk menyaksikan kemegahan patung yang akan menjadi monumen kebanggaan mereka.
Di sebelahku, Noland menghela napas panjang sambil memperhatikan proyek patung itu. Wajahnya tampak cemberut, meskipun aku tahu itu lebih karena kebiasaannya yang suka bercanda daripada kekecewaan sesungguhnya. "Hanya Luci yang mendapatkan patung, ya?" ucapnya setengah serius, tapi aku bisa merasakan nada guyonan di balik kalimatnya. "Padahal, kita semua berjuang bersama. Kenapa nggak ada patung Pahlawan Perisai, hah?" Dia menunjuk dirinya sendiri dengan gerakan yang dramatis, memicu tawa kecil dariku.
Aku menahan senyum. "Oh, jadi kamu ingin dipahat jadi patung juga?" balasku, menggoda dengan ringan.
Noland berpikir sejenak, wajahnya berubah seolah-olah mempertimbangkan ide itu dengan sungguh-sungguh. "Hm, kenapa tidak? Kita juga pahlawan, Freina. Ingat siapa yang dulu berdiri di garis depan, melindungi dunia ini dengan perisai besar ini?" katanya, menirukan posisi bertahan dengan perisainya, meskipun semua orang tahu dia hanya bercanda.
Aku tertawa pelan, memahami bahwa di balik candaannya, ada sedikit rasa iri. "Tapi kamu kan sudah punya reputasi, Noland. Lagi pula, Luci memang pahlawan kebanggaan bangsa ini. Dia adalah pemimpin yang dihormati oleh rakyat, apalagi sekarang dia menjadi Maharatu di kerajaan ini."
Noland hanya mendengus, mengangkat bahu dengan gerakan santai. "Ah, ya, tentu saja. Luci adalah pahlawan yang luar biasa. Tapi kalau aku punya patung, aku ingin sesekali tidur siang di bawahnya, biar semua orang tahu betapa santainya seorang Pahlawan Perisai," candanya sambil tertawa, dan aku tak bisa menahan diri untuk tidak ikut tertawa.
Kami terus berjalan, menyusuri jalan utama yang semakin ramai. Bangunan-bangunan besar dengan arsitektur megah di kiri dan kanan jalan menunjukkan kemewahan dan keagungan Elceria yang telah bertahan selama berabad-abad. Toko-toko mewah dan rumah-rumah bangsawan menghiasi setiap sudut kota, sementara taman-taman kota dengan pepohonan hijau segar memberikan kesejukan di antara gedung-gedung batu yang padat. Di beberapa tempat, air mancur yang artistik memancarkan air jernih, menambah suasana hidup di tengah hiruk-pikuk kota yang sibuk.
Perasaanku campur aduk saat berjalan melewati pusat kota ini. Kenangan masa lalu seakan hadir kembali, mengingatkan pada masa-masa ketika kami masih muda dan bersemangat. Perjuangan kami, pertempuran-pertempuran yang menguji segalanya, kini terasa seperti mimpi yang jauh. Tapi waktu terus bergerak maju, dan aku tahu bahwa tantangan baru selalu menunggu di depan.
Suara ramai dari pasar yang kami lewati semakin mendominasi, menggabungkan aroma rempah, makanan, dan berbagai barang dagangan. Orang-orang berkerumun, tawar-menawar, dan berbicara dengan semangat tinggi. Aku mendengar suara yang sangat familiar, suaranya seperti panggilan dari masa lalu.
"Berapa harga aksesoris ini, Bu?" terdengar suara lembut namun tegas dari seorang wanita yang sedang berbelanja di salah satu kios. Suara itu menarik perhatian, membuatku menoleh ke arah sumber suara.
"Ah, 2 koin emas, Nona!" jawab pedagang itu dengan semangat.
"Mahal sekali, bagaimana kalau 1 koin emas saja?" sahut wanita itu dengan nada menggoda, tersenyum dengan penuh pesona.
"Aduh, Nona. Dari penjualan aksesoris ini saja, saya hanya untung 1 perunggu," balas pedagang itu sambil menggeleng, seakan enggan menurunkan harga.
Aku tersenyum. Hanya satu orang yang aku tahu yang bisa bernegosiasi seperti itu. "Tunggu... bukan kah itu Eva?" pikirku dalam hati, mataku terpaku pada sosok Elf berambut perak yang tampak anggun di tengah kerumunan. Aku masih terkejut ketika mendengar dia menyebut nama Luci.