Keesokan harinya, kami tiba di gerbang istana Elceria yang megah. Dinding-dindingnya menjulang tinggi dengan ukiran rumit, menggambarkan kejayaan masa lalu bangsa ini. Penjaga-penjaga istana berdiri tegak dengan baju zirah perak yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Noland melangkah lebih dahulu, mendekati salah satu penjaga. "Kami memiliki urusan penting dengan Yang Mulia Raja Eldera," ujarnya dengan nada penuh percaya diri.
Penjaga itu menatap kami sejenak, lalu tersenyum kecil. "Nama kalian sudah terdaftar. Yang Mulia sudah menanti. Silakan masuk," katanya sambil memberi hormat.
Dengan penghormatan tinggi, para penjaga membuka gerbang besar, memperlihatkan jalan berbatu yang mengarah ke pintu utama istana. Aku dan Eva saling bertukar pandang sebelum mengikuti Noland yang berjalan lebih dulu.
Di depan pintu istana, seorang pria paruh baya dengan pakaian mewah menyambut kami. Jubahnya dihiasi bordiran emas, dan di dadanya tersemat sebuah lencana berbentuk lambang kerajaan Elceria. Wajahnya ramah, namun ada aura otoritas yang tak bisa diabaikan. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Marquis Leofric, Kepala Pengurus Kerajaan dan tangan kanan Raja Eldera.
"Selamat datang di Istana Elceria, para tamu terhormat," ujar Marquis Leofric dengan nada hangat. "Izinkan saya yang mengantar kalian ke aula pertemuan. Yang Mulia sudah menunggu."
Dengan isyarat tangannya, Marquis Leofric memimpin kami melewati lorong-lorong istana yang dipenuhi dengan ornamen megah dan lukisan yang menceritakan sejarah panjang kerajaan ini. Suasana di dalam begitu sunyi, hanya terdengar langkah kaki kami dan gema dari dinding-dinding batu.
Setelah beberapa menit berjalan, kami tiba di sebuah pintu besar berukir yang dijaga oleh dua prajurit bersenjata lengkap. Marquis Leofric memberi isyarat, dan pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan aula pertemuan yang luas dengan singgasana megah di ujung ruangan.
Di sana, duduk Raja Eldera, seorang pria dengan rambut perak yang mulai memutih dan sorot mata yang bijaksana. Pakaiannya sederhana namun memancarkan kewibawaan. Aura tenang yang ia pancarkan membuat ruangan terasa lebih hangat meskipun ukurannya besar.
Kami bertiga melangkah maju dengan penuh penghormatan, siap untuk menyampaikan maksud kami kepada sang raja.
Raja Eldera tersenyum hangat, mata peraknya berkilau di bawah cahaya lampu istana. "Ah, akhirnya... teman-teman seperjuangan dari ibunda datang. Aku ucapkan selamat datang di Kerajaan Elceria, selamat datang di istana ku yang sederhana ini," ujarnya dengan suara yang dalam, penuh kehangatan.
Aku merasa hati ini sedikit tergetar mendengar kalimat itu. Tentu saja, aku tahu maksudnya. Raja Eldera, yang kini memegang tampuk pemerintahan, adalah penerus dari Pahlawan Pedang yang dulunya dipegang oleh ibundanya, Luci. Mengingat kembali kisah masa lalu, aku tahu betul bagaimana hubungan mereka begitu dekat, dan betapa beratnya warisan yang harus diemban Raja Eldera.
"Terima kasih, Yang Mulia," kata Noland dengan penuh rasa hormat. "Kami merasa terhormat bisa hadir di sini."
"Ya, kami sungguh terhormat, Yang Mulia," Eva menambahkan, sedikit lebih rendah suaranya, meski tetap penuh rasa hormat.
Raja Eldera mengangguk, senyum tetap menghiasi wajahnya. "Aku sudah menunggu kedatangan kalian. Akan ada banyak hal yang perlu kita bahas, tapi pertama-tama, mari kita duduk dan berbincang."