Setelah candaan itu, suasana di meja semakin hangat, dan kami mulai melupakan ketegangan yang sempat terasa di awal. Namun, tiba-tiba Noland membuka pembicaraan dengan nada nakal. "Ngomong-ngomong soal patung, aku sempat lihat patungmu, Luci, di alun-alun kemarin. Itu terlihat luar biasa!" katanya sambil tertawa kecil. "Aku rasa kita juga layak dibuatkan patung, kan? Terutama kalau kita mau dihormati seperti pahlawan sejati. Bayangkan, patung Freina, Eva, dan aku berdiri di alun-alun, seperti pemimpin kerajaan yang sudah berjasa!"
Aku menatap Noland dengan tatapan tak percaya, tapi lebih karena keheranan melihat betapa santainya dia bercanda tentang hal itu. "Kamu bercanda, kan?" tanyaku, meski sudah bisa menebak jawabannya.
"Tentu saja bercanda!" jawab Noland sambil tertawa lebar. "Tapi jujur saja, patung Jay juga harus ada. Kenapa tidak sekalian sosok Hero Commander tidak dihormati dengan patung? Pahlawan sejati seperti dia harus dikenang!"
Begitu nama Jay disebut, aku bisa merasakan wajahku memanas, seperti terbakar. Kenapa Noland harus menyebutnya sekarang? Aku berusaha menenangkan diri, tapi wajahku sudah pasti memerah. "N-Noland, berhenti bercanda!" aku mencoba menahan malu yang datang begitu saja.
Luci, yang duduk di depan kami, mengamati dengan seksama, dan senyumnya semakin lebar. "Oh? Jay? Itu memang nama yang layak dikenang," katanya, sedikit tersenyum. "Tapi, aku rasa dia akan lebih suka jika dihormati dengan cara lain. Patung bukanlah hal yang harus kita pikirkan. Ingat apa yang pernah ia katakan dulu?"
***
Saat itu, kami berada di sebuah desa pengerajin patung di wilayah Benua Western. Kami baru saja berhasil menyelamatkan penduduk desa dari serangan Iblis jahat. Kepala desa, dengan penuh rasa terima kasih, menghampiri kami, terutama pemimpin kami yang dijuluki El Capitano Jay.
"Terima kasih atas jasa kalian. Jika tidak ada kalian, mungkin para penduduk..." kata kepala desa, tergagap.
"Tak perlu dipikirkan, Pak Kades. Itu memang sudah menjadi tugas kami," jawab Jay dengan nada lembut.
"Ah, untuk mengenang jasa kalian sebagai pahlawan desa ini, izinkan pengerajin kami membuatkan patung tentang kalian!" ujar kepala desa dengan antusias.
"Kami tidak perlu, Pak. El Capitano Jay lah yang lebih pantas," ucap Zheng, rekan kami yang merupakan Pahlawan Tombak.
"Aku menghargai niat baik kalian, namun... patung itu bukan cara yang tepat untuk mengenang kita. Keberanian sejati tidak terletak pada bentuk batu atau logam, tetapi dalam tindakan kita yang terus hidup dalam ingatan orang-orang yang kita bantu," kata Jay dengan rendah hati.
"Tapi, jika ada patung, bukankah itu akan menjadi warisan monumen yang membuktikan bahwa kau adalah seorang pemimpin pahlawan yang tak lekang oleh zaman?" ucap Noland, yang tampaknya memiliki pandangan lain.
"Noland, ini bukan soal membuktikan diri untuk menjadi bagian dari sejarah... Warisan yang abadi lebih dari sekadar patung yang terbuat dari batu. Keberanian yang kita lakukan akan hidup dalam hati mereka yang terus berjalan di jalur yang kita tinggalkan. Biarkan kisah kita dikenang dalam setiap langkah yang diambil oleh mereka yang datang setelah kita."
"Tapi, Jay, segala yang telah kau lakukan untuk dunia ini tak boleh dilupakan. Nama dan jasamu pantas dikenang," kata Zheng, menimpali.
"Perlu aku tekankan pada kalian. Aku bukanlah bagian dari dunia ini. Aku hanya fenomena yang muncul dalam waktu yang singkat. Seperti bintang yang bersinar lalu padam. Jangan biarkan dunia ini terikat pada sosok yang datang dari luar. Aku hanya berperan sementara, dan tak seharusnya menjadi bagian dari sejarah yang tak seharusnya aku miliki."
"Tapi keberanianmu telah mengubah dunia ini, Tuan," kata Pak Kades, mencoba meyakinkan.
"Mungkin, namun pengaruh itu tak perlu diikat pada simbol fisik. Biarkan dunia ini melanjutkan perjalanan mereka tanpa perlu mengenang sosok yang hanya singgah. Jangan biarkan sejarah mereka terikat pada sosok yang bukan bagian dari takdir mereka. Aku adalah perjalanan, bukan tujuan," jawab Jay dengan bijak.