Seorang perempuan cantik, putih, bersih, dan sangat angun. Dianugerahi senyuman yang begitu sangat indah. Siapapun yang melihatnya matanya sulit untuk bergedip walaupun sedetik. Saat ini dia tengah menginjak perkuliahan semester akhir. Aku mengenalnya di salah satu Halte Bus kampus di Banda Aceh yang kerap menjadi tempat favoritnya selepas pulang kuliah. Dia Edelweis Javanica. Gadis berusia 20 Tahun. Akrab dipanggil Edelweis. Hanya aku yang memanggilnya sayang. Cerita punya cerita, nama Edelweis Javanica yang artinya Edelweis Jawa, dibuat oleh nenek dari ayahnya. Sewaktu masih muda neneknya adalah seorang pendaki gunung. Hampir semua gunung di Indonesia sudah pernah ditapakinya. Dan salah satu gunung membuatnya jatuh cinta. Bukan karena keindahan pemandangannya yang begitu menakjubkan dari ketinggian, namun karena di sisi gunung itu ditumbuhi oleh juataan bunga Edelweis yang sangat memukau siapapun yang melihatnya.
Semenjak saat itu tumbuh niat dalam benak neneknya untuk menamai anak perempuannya kelak dengan sebutan nama Edelweis. Namun Tuhan memiliki rencana lain. Ia tidak dikaruniai seorang anak perempuan. Oleh sebab itu, ia begitu bergembira lahirnya seorang anak perempuan dari anak laki-lakinya. Sontak saat itu dia langsung turuntangan membuatkan nama untuk cucu pertamanya.
“Cucuku ini kuberi nama, Edelweis Javanica!” tuturnya 20 Tahun yang lalu. Tidak ada yang berani mematahkan bemberiannya. Ayah dan ibu Edelweis hanya dapat menuruti kemauan neneknya.
***
Langit terlihat sangat biru kala itu. Burung-burung kecil berterbang dan menghinggap di ranting pohon-pohon kering yang telah lama mati. Hanya tinggal beberapa ranting yang masih kokoh bertahan. Suasana pagi yang begitu sangat indah, tenang. Keindahannya bertambah ketika perempuan itu berjalan pelan. Matanya sangat cerah. Senyumannya mengalahkan keindahan pelangi di air terjun tiga warna sekalipun. Aku tahu Tuhan menciptakan segala yang ada di langit maupun di bumi ini tidak ada yang sempurna. Edelweis mungkin adalah satu-satunya wanita yang Tuhan ciptakan kebumi pertiwi ini dengan predikat nyaris sempurna.
“Edelweis” panggilan seorang perempuan dari sudut jalan kampus sambil meneteng beberapa buku yang ketebalannya kira-kira tiga ratus lembar persatu buku. Edelweis menoleh kebelakang mencari sumber suara yang memanggil namanya.
“Oh, Dita ada apa?” tanyanya. Tiba-tiba mata Edelweis melotot kaget melihat Dita. “Wah wah, ada yang mau naikkan berkas ini. Perlu bantuan enggak nih?” ujar Edelweis.
Melihat Dita membawa Copyan skripsinya yang begitu tebal. Edelweis sudah mengetahui bahwa Dita mau mendaftar untuk sidang Skripsi minggu depan.
“Nanyak lagi. Bantuin dong, berat nih” jawab Dita sambil nyenyel. Edelweis tersenyum. Manis sekali. “Oh iya skripsimu gimana Del?” tanya Dita.
“Masih dalam prores, ini mau jumpai Pak Ibrahim untuk bimbingan” ucap Edelweis sambil mengangkat sebagian skripsi Dita yang cukup berat.