"Tapi dalam beberapa hari ini enggak ada rasa nyeri kan, Lin?"
Alin menggeleng kepalanya pelan, setelah selesai melakukan fisioterapi bersama Dokter Kiki selanjutnya ia akan melakukan konsultasi. Alin sejujurnya lelah harus bolak balik ke rumah sakit setiap kali kakinya terasa nyeri, bahkan jika walking brace itu masih terpasang Alin masih bisa merasakan nyeri di pergelangan kakinya ketika berjalan.
"Masih suka nyeri, Dok. Apalagi kalo seharian di kampus," ucapnya.
"Saran saya, kalo masih ngerasain nyeri setelah fisioterapi ini kamu bisa kembali lagi kesini. Nanti saya kasih obat pereda nyeri yang bisa kamu minum ya."
Alin hanya mengangguk, Dokter Kiki adalah dokter yang baik dan sabar. Dulu sewaktu Alin belum bisa menerima jika dia tidak akan pernah bisa ballet lagi, Dokter Kiki lah yang banyak menasihatinya.
Dokter Kiki bilang Alin masih bisa meraih cita-citanya yang lain. Meski hingga kini dia sendiri enggak tau mau melakukan apa setelah tidak bisa ballet lagi. Yang Alin lakukan hanya menjadi mahasiswi biasa di jurusan seni.
Alin merasa tidak hidup saat Dokter memvonis kakinya terkena Sinus tarsi syndrome (STS) atau suatu kondisi klinis yang ditandai dengan rasa sakit yang berkelanjutan di depan dan sisi samping pergelangan kaki. Akibat cedera traumatis.
Penyakit itu seperti merenggut hidupnya, tidak ada lagi hari-hari dimana ia harus latihan di studio. Tidak ada lagi sorakan penonton saat melihat dirinya menari.
Setelah mendapatkan resep dari Dokter Kiki, Alin menaruh resep itu di apotek. Karna antriannya masih terbilang panjang ia menyempatkan diri untuk mampir ke poli bedah, pagi tadi ia sempat membuat kotak makan siang untuk Rayhan. Ini sudah jam makan siang, mungkin saja Rayhan akan makan siang.
"Misi, Sus. Dokter Rayhan nya ada gak ya?" tanya Alin pada Suster yang ada di area nurses station.
"Ada kok, Mbak. Dokter Rayhan baru aja selesai operasi. Mungkin sebentar lagi keluar untuk makan siang," jelas seorang Suster muda di sana.
Alin mengangguk dan tersenyum "makasih ya, Sus."
setelahnya ia lebih memilih untuk duduk di deretan kursi yang ada di poli klinik bedah. Menunggu Rayhan datang Alin kembali mengecek lunch box yang ia siapkan untuk Rayhan, memastikan jika tatanan di dalamnya tidak berantakan.
Setelah 10 menit menunggu dari ujung lorong Alin melihat Rayhan yang berjalan bersama Dokter Jo. Dokter Jo ini adalah rekan dokter Rayhan, Alin juga sudah mengenal Dokter Jo.
"Hai, Lin. Kok di sini? Kamu habis terapi apa gimana?" tanya Rayhan waktu dia mendapati Alin yang duduk di kursi dekat dengan nurses station.
"Iya, Mas. Aku habis terapi terus lagi nunggu obat, ya udah aku mampir aja ke poli bedah. Kebetulan aku juga bawa kotak bekal buat Mas Rayhan makan siang, Mas Ray mau makan siang kan?"
Rayhan mengangguk dia emang mau makan siang di kantin bareng Dokter Jo, tapi melihat Alin datang dan membawakannya makan siang. Mungkin Dokter Jo akan berakhir makan siang sendirian.
"Kebetulan banget, tadinya aku mau ke kantin buat makan siang bareng Dokter Jo," di liriknya rekan kerjanya itu, Dokter Jo hanya bisa menghela nafasnya pelan. "Dok, sorry banget kayanya saya mau makan bareng Alin aja di taman rumah sakit."
"Ya mau gimana lagi, udah nasib saya kayanya makan sendirian mulu." ujar Dokter Jo di iringi dengan tawa renyah khas nya. "ya udah kalo gitu, Lin, Ray. Saya duluan ya," ucap Dokter Jo sebelum ia enyah dari sana.
Setelah Dokter Jo pergi barulah Rayhan membantu Alin bangun dan menggandengnya ke taman rumah sakit, Alin masih suka kesulitan jalan. Meski sudah terbiasa mengenakan walking brace.
"Kamu bawain aku apa, Lin?" tanya Rayhan sembari memperhatikan Alin yang mengeluarkan kotak makan siang dari paper bag yang gadis itu bawa.
"Aku bawain churry chicken katsu, Mas Rayhan suka kan?"
Alin ngasih kotak bekal itu ke Rayhan, satu hal yang membuat Alin selalu senang ketika membuatkan makanan untuk cowok itu adalah Karna Rayhan tidak pernah milih-milih makanan, Rayhan juga pandai mengomentari masakannya. Jika di nilai ada yang kurang dari masakannya, Rayhan akan bilang pada Alin.
Jadi Alin bisa memperbaiki masakannya lagi, Rayhan bukan tipe cowok yang akan mengatakan masakan seseorang enak hanya demi menyenangkan hatinya. Menurutnya berkata jujur jika ada kekurangan pada rasa masakan itu wajar agar seseorang bisa memperbaikinya lagi.
"Um.. Harum, kelihatanya enak. Aku cobain ya?" Rahyan mencicipi masakan buatan Alin itu, sembari mengunyah dia mencoba meresapi rasa bumbu churry dan ayamnya. "Enak, enak banget. Alin sekarang udah pinter masak."
Melihat mata Rayhan yang membentuk seperti bulan sabit, membuat Alin semakin percaya diri akan masakannya. Dia senang banget waktu Rayhan bilang makanannya enak.
"Makan yang banyak ya, Mas"
"Kamu enggak makan?"
Alin menggeleng pelan "aku udah makan duluan sebelum terapi, masih kenyang banget."