Edelweiss

Musim semi
Chapter #9

Buka Hati (5A)

Aksa masuk ke ruangan istirahat klinik forensik, wajahnya penuh keseriusan tidak ada raut bercanda khas seorang Aksara Putra Handoko. Cowok dengan tinggi 179cm itu membawa amplop berwarna putih yang sudah di beri stempel. laboratorium klinik forensik.

“Hasil lab nya udah keluar,” ucap Aksa penuh penekanan. Ucapannya itu berhasil membuat atensi Rangga, Yohan dan beberapa Dokter muda di sana teralihkan. Mereka semua akhirnya berkumpul di meja panjang, yang biasa di gunakan tim forensik untuk rapat.

“Gimana hasilnya?” tanya Rangga.

Aksa menyerahkan amplop putih dengan logo dan stempel laboratorium itu kepada Rangga, biar bagaimana pun Aksa merasa Rangga lebih berhak membacakan hasil lab itu, Karna Rangga adalah pemimpin tim forensik ini.

“Gue rasa lo yang lebih berhak buat bacain hasil labnya, Ga,” jawab Aksa.

Rangga akhirnya mengambil hasil pemeriksaan korban yang beberapa hari lalu mereka autopsi, korban datang dari sebuah rumah sakit jiwa dengan kondisi sudah tidak bernyawa. Penyidik bilang berdasarkan kesaksian beberapa perawat di sana, korban di temukan gantung diri di dalam kamarnya.

Entah bagaimana korban bisa melakukan itu, seharusnya sekelas rumah sakit jiwa melakukan penjagaan ketat terhadap pasiennya, Memastikan semua kamar pasien tidak luput dari benda-benda yang dapat membahayakan keselamatannya.

Setelah melihat jenazah korban, orang tua korban merasakan ada yang janggal atas kematian putrinya. Nona Felin, berusia 24 tahun yang menderita schizophrenia¹ sudah di rawat di rumah sakit jiwa selama 2 tahun belakangan ini.

Autopsi sendiri atas perintah keluarga korban, keluarga korban menaruh kecurigaan terhadap perawat rumah sakit jiwa yang di nilai lalai dalam menjaga putrinya. Keluarga juga menaruh kecurigaan jika anaknya adalah korban pembunuhan.

Rangga akhirnya mengambil amplop itu, membukanya dan membacanya terlebih dahulu. Sementara yang lainya hanya menunggu dengan pandanganya tidak luput dari Rangga yang masih membaca dengan hasil laporan lab dalam hati.

“Laktulosa²,” ucap Rangga, dia sedikit menjeda ucapannya demi menatapi satu persatu raut wajah tim nya itu. “Di temukan senyawa kimia laktulosa yang biasanya terkandung di dalam obat pencahar. Dilihat dari kondisi pencernaan korban, tidak ada yang korban konsumsi lagi sebelum kematiannya. Tidak ada makanan apapun. Hanya di temukan obat penenang yang korban telan 1-2 jam sebelum kematiannya,” jelas Rangga.

“korban sempat mengalami gangguan pencernaan, tapi laktulosa yang di konsumsi korban sendiri kayanya berlebihan, Ga. Makanya nona F mengalami peningkatan tekanan intrakolon³ sehingga mengakibatkan kondisi pneumatosis intestinal⁴,” ucap Yohan.

Rangga mengambil beberapa foto korban yang kemarin sempat di potret oleh dokter muda yang membantu jalanya autopsi, Rangga melingkari usus besar dengan jarinya sendiri “lihat di bagian sini, ada sisa kotoran yang bentuknya cair. Sudah jelas kalau korban mengalami diare berkepanjangan.”

Aksa juga turut mengambil foto korban yang di ambil sebelum sampelnya di periksa “liat deh di bagian sini, sel-sel nya menghitam dan bengkak. Sel-selnya juga mati jauh sebelum korban meninggal,” tegas Aksa.

“Ada perlengketan usus juga, kayanya korban enggak makan berhari-hari sampai otot-ototnya mengecil,” samber Gentari, gadis itu sudah tidak lagi kaget melihat korban yang datang bergantian di klinik forensik. Gentari jauh lebih lugas dan berani sekarang ini.

“Dari pemeriksaan luar yang kita lakukan kemarin juga saya yakin itu adalah jerat bukan gantung,” Rangga mengambil gambar korban saat dilakukannya pemeriksaan luar, ia melingkari leher korban yang terdapat bekas lingkar tali yang di gunakan korban untuk gantung diri “simpulnya mati, jejaknya berbentuk horizontal di bawah cartilago thyroidea¹ lidah korban saat di temukan juga terjulur, sedangkan kasus gantung biasanya lidah jarang terjulur.”

“Itu artinya korban di jerat? Bukan gantung diri? Aneh juga kalau korban gantung diri, biasanya lingkar jerat juga gak bisa di perbesar atau di perkecil, dan jumlah lilitan hanya satu. Jika korban bunuh diri biasanya jumlah lilitan lebih dari satu. Biasanya disebabkan karna korban ragu dan menahan tali yang melilit leher. benar kan, Dok?” tanya Genta pada Rangga, Genta sedari tadi menyimak dan cenderung meneliti lebih dulu sebelum ia ungkapkan hasil analisanya.

Rangga hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil “semua sudah jelas, senyawa laktulosa yang terdapat dalam tubuh korban, jerat yang terdapat di lehernya itu bukan lebam karna gantung diri melainkan jerat. Yang artinya ada seseorang yang menarik leher korban dengan tali dari belakang. Jelas cara kematian tidak wajar, sekarang semua sudah terang kita bisa buat visum et repertumnya,” ucap Rangga. Rahangnya menegas dan memeriksa foto-foto korban kembali, sementara tim nya kembali mengerjakan tugas mereka.

Sedang menelisik kembali foto-foto korban yang di ambil saat autopsi berjalan, Rangga merasakan lehernya seperti di tiup angin. Ia memejamkan matanya pelan, seluruh bulu kuduknya merinding dan saat kedua kelopak matanya itu terbuka. Ia menangkap arwah korban yang berada di kursi yang tadi di duduki oleh Yohan.

Saya terus menerus di beri obat pencahar, saya mengalami diare berkepanjangan. Dan malam itu seorang datang ke kamar saya, semua lampu gelap karna di matikan. Dan saya merasakan ada seseorang yang melilitkan tali ke leher saya hingga saya tidak bisa bernafas,” lirih arwah yang terlihat merana penuh kesedihan sekaligus menyimpan dendam itu.

Rangga hanya menatapnya lurus dan bergeming di tempatnya, kesaksian arwah itu sedikit memberinya pencerahan akan apa yang harus ia lakukan. Rangga kemudian mengangguk, mengisyaratkan ia paham dengan apa yang arwah korban bicarakan.

“Saya akan coba bantu sampai kamu dapat keadilan,” jawab Rangga spontan.

Suara Rangga itu berhasil membuat Gentari menoleh ke arah Rangga, gadis itu menatap Rangga bingung sembari menggedikkan bahunya. Ia juga mencolek Genta yang duduk di sebelahnya.

Lihat selengkapnya