Rangga sedang sibuk membaca beberapa berkas kasus yang sedang ia tangani di ruang visumnya sendiri, Aksa dan Yohan sedang keluar makan siang. Hari ini ia membawa bekal, ya.. Bekal yang di buat Adeline khusus untuknya.
Bekal nya juga sudah habis, jadi ia bisa melanjutkan pekerjaannya kembali. Matanya menelisik ke hasil toksikologi² jenazah korban yang makamnya kembali di bongkar. Bukan kasus besar, namun keluarga korban meminta pihak kepolisian untuk kembali membongkar makam anak mereka yang sudah meninggal 5 hari yang lalu.
Pemeriksaan toksikologi ini berguna untuk mengetahui apakah tubuh korban mengandung arsen dan sianida.
“kan saya udah bilang dokter, saya itu sudah mati sebelum jasad saya di buang ke sungai. Saya itu di bunuh oleh mereka yang sudah puas menjadikan saya pelampiasan nafsunya. Padahal tinggal bilang begitu saja ke polisi semuanya beres!“
Rangga memijat pelipisnya pelan, kepalanya berdenyut nyeri karna sedari kemarin ia terus di ikuti oleh arwah korban yang jasadnya ia autopsi. Arwah perempuan muda berumur 22 tahun itu benar-benar banyak bicara.
Dia pikir mudah memecahkan kasus seperti ini? Jaman sekarang, mana ada orang yang percaya oleh ucapan seorang indigo.
“Semua harus sesuai hukum, keabsahannya enggak kuat jika hanya mengandalkan komunikasi antara kamu dan saya. Saya enggak punya bukti sementara kamu enggak bisa ngasih kesaksian,” jelas Rangga.
Arwah gadis itu mengerucutkan bibirnya dan berlalu pergi dari sana, energinya sudah terkuras habis seharian ini selalu di ganggu oleh para arwah yang protes dengannya, ataupun sekedar mengucapkan terima kasih, karna mereka sudah mendapatkan keadilan berkatnya.
Rangga kembali melanjutkan pekerjaannya, sampai Gentari masuk dengan seorang gadis berusia 19 tahun. Wajahnya pucat dan matanya sedikit membengkak, ada luka kecil juga di bagian pelipis dan bibirnya yang memar.
“Siang, Dok. Saya mau mengantar korban bernama Kenzy berusia 19 tahun. Korban mau melakukan visum hidup,” jelas Gentari.
Rangga mengangguk pelan, ia sudah tahu sekitar 10 menit yang lalu. Bagian Instalasi Gawat Darurat tadi meneleponnya dan menjelaskan perihal korban bernama Kenzy ini.
Gentari membantu Kenzy untuk duduk di bed pasien. Gentari menemani korban agar korban tidak merasa takut saat visum berjalan nanti, gadis itu tertunduk. Tangannya menggenggam erat tangan cardigan yang ia kenakan.
Rangga berusaha untuk tersenyum seramah mungkin, menangani korban kekerasan seksual seperti ini tidak mudah baginya. Apalagi saat ia meminta korban untuk menceritakan kronologi demi kepentingan pemeriksaan, ia tidak boleh membuat korban yang trauma semakin takut karenanya.
“Selamat siang, saya Dokter Rangga. Saya Dokter yang akan memeriksa kamu sekaligus membantu kamu untuk mendapatkan keadilan,” Rangga memperkenalkan dirinya dengan senyuman yang membuat Gentari sendiri tersipu, bagaimana bisa dokter yang terkenal seperti kanebo kering itu tersenyum semanis ini di depan pasiennya.
Gadis itu terlihat tidak nyaman, apalagi saat ia sadar ia harus mengingat dan menceritakan kembali pengalaman terburuk di dalam hidupnya.
“Sekarang, Kenzy bisa cerita sama saya. Semua kejadian yang Kenzy alami, Kenzy bisa kooperatif sama saya, cerita selengkap-lengkapnya ya? Biar kita bisa tangkap dan hukum pelaku,” nada bicara Rangga benar-benar lembut. Membuat korban sedikit lebih nyaman karena Rangga tidak terlihat seperti menginterogasinya.
“Gentari, kamu bisa ambil foto luka-luka korban untuk kelengkapan bukti yang akan di serahkan ke polisi nanti,” ucap Rangga pada Gentari, Gentari mengangguk dan mengambil kamera yang nantinya akan ia gunakan untuk memotret luka dan lebam yang ada di sekitar tubuh korban. Ini untuk kelengkapan bukti yang akan di serahkan nanti ke pihak berwajib.
Baru saja Kenzy akan bercerita, tidak lama kemudian mulutnya kembali tertutup. Ketika pintu ruang visum terbuka, menampakan Yohan dan Aksa yang baru saja kembali dari makan siangnya.
Kedua laki-laki itu berhenti tertawa ketika mendapati Rangga sedang melakukan pendekatan pada korban, Rangga tahu mungkin Kenzy tidak nyaman dengan kehadiran dua temanya itu. Maka dari itu ia memberi isyarat pada Aksa dan Yohan untuk keluar dari ruangan terlebih dahulu.
“Maaf ya, tadi itu teman-teman saya, sekarang Kamu bisa ceritain semuanya kan?”
Korban kembali mengangguk, melihat korban sudah mulai terlihat nyaman. Rangga akhirnya menarik kursi dan duduk di depan korban.
“2 minggu yang lalu saya baru saja pulang dari kampus setelah festival musik kampus berakhir, saya pulang cukup larut, Dok. Sekitar jam setengah dua belas malam. Karena rumah saya berada di desa saya harus melewati gang sepi hingga area perkebunan, tiba-tiba saja ada yang bekap mulut saya dari belakang. Saya di bawa ke sebuah rumah kecil yang ada di dekat sawah,” nada bicaranya bergetar, tangan korban juga bergetar saat bercerita namun Gentari mengusap tangan itu perlahan.
“Pelan-pelan aja ceritanya, ya,” bisik Gentari.
“Saya ingat sekali, saya enggak pakai baju yang senonoh. Saya bahkan pakai rok panjang dan kemeja dengan hoodie sebagai luarnya, karena saat itu udara cukup dingin, Waktu itu saya di pukul, orang itu nyuruh saya diam. Kalau saya teriak nanti saya bisa di bunuh. Orang itu perkosa saya dengan membabi buta. Saya sudah berusaha melawan, namun tenaga saya yang sudah lelah dan ketakutan tidak sebanding dengan tenaga pelaku,” lanjutnya lirih. Gadis itu menangis dan membuat Rangga semakin tidak tega melihatnya.