Edelweiss

Musim semi
Chapter #26

Swastamita (13B)








Rangga turun dari mobil setelah memarkirkan mobil miliknya, sebelum masuk ke dalam rumah. Ia memastikan tidak ada yang mencurigakan di sekitar rumahnya, tidak ada yang membuntutinya atau pun tidak ada benda mencurigakan lainya.

Rangga selalu berjaga-jaga seperti ini ketika sedang memegang kasus yang lumayan penting, ia tidak ingin keluarganya dalam situasi yang membahayakan. Jika sedang seperti ini, Rangga juga biasanya tidak akan menemui Aurora. Meski rindu dengan anaknya itu, Rangga cuma akan meneleponnya.

Dari dalam rumah, Bundanya itu keluar. Melipat kedua tangannya di depan dada sembari tersenyum kecil melihat putra sulungnya itu seperti mencari sesuatu.

“Cari apa, Mas?” tanya Bunda yang berhasil membuat Rangga tersentak karena kaget.

“Astaga, Bun. Mas pikir siapa, bikin kaget aja Bunda nih tiba-tiba muncul,” Rangga mengusap dadanya kemudian berlari kecil masuk ke dalam rumahnya, ia mencium punggung tangan Bunda nya itu. “Kok belum tidur, Bun?”

“Nungguin, Mas. Mas belum pulang Bunda jadi enggak bisa tidur.”

Rangga tersenyum “ini Mas udah pulang, kita masuk yuk. Anginnya agak kencang,” Rangga memegang pundak Bunda nya, menitah Bundanya untuk masuk ke dalam rumah lebih dulu sementara ia akan menutup pintu.

“Mas sudah makan?”

“Sudah, Bun. Bunda udah makan?”

Bunda mengangguk pelan “udah kok. Mas?”

“Ada apa, Bun?”

“Kayanya Bunda mau ngobrol sama Mas Rangga, sudah ngantuk belum?”

Rangga menggeleng pelan, ia juga belum mengantuk. Ia akan selalu senang jika ngobrol empat mata dengan orang tua nya. Keluarga Rangga memang begitu, ada waktu-waktu dimana Rangga dan Rayhan bercerita kepada kedua orang tua mereka.

Bukan hanya obrolan-obrolan serius saja, apapun itu. termasuk obrolan ringan seperti kegiatan mereka sehari-hari saja misalnya. Keduanya pun duduk di sofa ruang tamu, Ayah sudah tidur lebih dulu. Dan Rayhan belum pulang dari rumah sakit. Rayhan bilang ada operasi yang harus ia tangani malam ini.

“Habis dari mana, nak?” tanya Bunda.

“Habis keluar sebentar, Bun.”

“Jemput Adeline?”

“Iya, Bun.”

Bunda mengangguk pelan “Bunda senang sekali, akhir-akhir ini Mas kelihatan lebih ceria.”

Rangga jadi terkekeh pelan mendengar ucapan Bunda nya barusan, apa selama ini ia terlihat sering murung?

“Emang selama ini Mas gak kelihatan ceria, Bun?”

“Bukan itu maksud Bunda, Mas. Kaya apa ya,” Bunda memperhatikan wajah anak sulungnya itu “pokoknya beda aja, ada apa sih? Lagi suka sama seseorang ya? Aura nya Mas itu kaya orang lagi jatuh cinta.”

“Masa Bun?”

“Bunda ini pernah muda loh, Mas.”

Rangga terkekeh pelan, ia juga masih bingung dengan perasaanya sendiri. Rangga terlalu kaku untuk mengenali apakah perasaan ini menandakan ia sudah jatuh cinta dengan Adeline atau bukan.

“Mas juga bingung, Bun.”

“Bingung kenapa hm?” Bunda mengusap-usap bahu tegap Rangga, tatapan lembutnya tidak luput dari wajah anaknya itu.

“Mas gak tau, ini perasaan sayang atau bukan. Mas cuma pengen selalu bisa jagain dia, mastiin dia aman, selalu kepengen deket dia, sama sering kepikiran dia aja. Bingung, ini perasaan sayang atau cuma sekedar simpati aja. Mas takut keliru,” jelas Rangga, kira-kira seperti itulah yang Rangga rasakan kepada Adeline. Rangga tidak ingin keliru dengan perasaanya kemudian berakhir dengan menyakiti Adeline, ia tidak ingin begitu.

Rangga juga sudah berkomitmen pada dirinya untuk tidak bermain-main dengan hati perempuan, dari kecil Ayah dan Bunda nya selalu mengajari Rangga untuk menghargai perempuan. Rangga juga ingin jika suatu hari ia menemukan perempuan yang ia cintai, ia akan langsung melamar gadisnya itu untuk menjadi Istrinya.

Rangga sadar di umurnya yang sudah kepala tiga, rasanya akan sangat konyol jika ia masih bermain-main dengan mengajak seorang gadis berpacaran alih-alih menikahinya. Umurnya bukan remaja lagi.

Lihat selengkapnya