Rangga pikir Noah belum datang ke coffee shop yang sudah menjadi tempat mereka berdua bertemu, tapi ternyata cowok itu sudah datang 20 menit sebelum waktu mereka bertemu.
Di kursinya Noah masih melemparkan pandanganya pada Rangga, tidak ada ucapan yang keluar dari bibirnya. Ia tampak seperti menerawang lawan bicaranya itu. Noah sudah tahu perihal Istrinya yang datang menemui Adeline di klinik.
Asther yang cerita sendiri pada Noah, di hari itu juga mereka kembali beradu argumen. Noah berusaha untuk tidak memukul Asther lagi karena Lilyana yang memeluknya tiba-tiba. Saat itu pelampiasan Noah hanya pada dinding tempat resort mereka menginap.
Tangan kananya penuh memar dan luka karena Noah menghajar dinding dengan keras, tangannya itu di balut perban. Saat emosi seperti itu rasanya Noah jadi mati rasa, tangannya mendadak kebal. Masa bodo dengan luka nantinya. Yang penting ia bisa meluapkan seluruh emosinya hingga puas.
“Selamat sore Noah,” ucap Rangga pada akhirnya “maaf saya terlambat, ada beberapa kerjaan yang harus saya selesaikan dulu.”
“Gapapa,” Noah menegapkan duduknya “kita langsung aja, bisa?”
“Bisa,” Rangga menarik nafasnya pelan, ia masih tetap pada pembawaannya yang tenang itu “saya rasa kamu perlu tahu kalau Istri kamu, Asther. Sudah menemui Adeline di kliniknya bekerja.”
“Asther udah cerita ke gue.”
Rangga mengangguk “saya rasa, ini udah sangat keterlaluan Noah. Saya bisa aja nyeret kamu dan istri kamu ke jalur hukum kalau saya mau. Semua bukti soal kamu dan istri kamu sejujurnya udah saya pegang, tapi disini saya masih mau bicara baik-baik ke kamu.”
Noah terdiam, ia membuang pandanganya ke arah lain. Beberapa hari mengikuti Adeline dan Rangga ia rasanya seperti kalah telak, malas mengakui tapi yang Adeline ucapkan benar adanya.
Rangga memperlakukan gadis itu dengan sangat baik, berbeda jauh darinya. Namun taraf keegoisan Noah dan rasa denial nya akan hubungan mereka yang sudah berakhir masih membumbung tinggi juga.
“Terus terang, saya mau kamu menjauhi Adeline. Selama kamu mengikuti saya dan Adeline sejauh ini, apa itu enggak cukup buat bikin kamu sadar kalau hubungan kalian sudah benar-benar berakhir?”
“Ikutin kalian berdua bikin gue mikir kalau sandiwara kalian emang sebagus itu,” Noah tidak berkilah, ia memang sempat berpikir seperti itu. Jika kalian lupa, Noah ini sempat mencari tahu soal Rangga lebih dulu sebelum ia memutuskan untuk pergi ke Bali menemui Adeline.
Rangga sempat terkejut dengan fakta itu, namun ia masih tetap berusaha tenang. Wajah keterkejutannya pun tidak membuat Noah curiga, Rangga pintar dalam mengendalikan ekspresi wajahnya.
“Tapi semakin hari gue sadar kalau apa yang Adeline bilang itu benar,” Noah berhenti sebentar, ada remasan halus menyakitkan di hatinya “lo memperlakukan dia jauh lebih baik dari gue.”
“Adeline gak pantas dapat perlakuan buruk dari siapapun itu. Noah, mungkin Adeline mamang pernah mengaku-ngaku sebagai tunangan saya. Tapi sejujurnya saya memang berniat untuk menjadikan dia sebagai tunangan saya dalam arti yang sebenarnya. Saya sayang sama dia.” ucap Rangga to the point.
Sesak, itu adalah rasa yang mendominasi hati Noah saat ini. Bertemu dengan Rangga dan membicarakan Adeline dengan cowok itu semakin membuatnya sadar, jika ia benar-benar kehilangan Adeline.
“Saya mau kamu sadar kalau Adeline bukan milik kamu lagi, Noah. Kalian sudah berakhir. Saya rasa kamu juga harus ngasih tau ke Asther kalau Adeline gak pernah menahan kamu disini dan menghubungi kamu lagi sejak kamu menikah. Supaya dia enggak salah paham dan mempermalukan Adeline, yang seharusnya di salahkan disini itu kamu. Kamu yang udah buat persahabatan mereka rusak, kamu yang udah membuat Asther salah paham, dan kamu juga yang udah menyakiti 3 perempuan sekaligus. Adeline, Asther dan anak kamu. Kebahagiaan kamu, pengendalian emosi kamu itu bukan tanggung jawab Adeline. Tindakan kamu dan keegoisan kamu udah kelewatan. Berhenti Noah sebelum semuanya semakin berantakan,” jelas Rangga.
Di pangkuannya Noah meremas tangannya kencang, ia tidak perduli tangannya semakin berdenyut nyeri.
“Gue bakal akhiri semua ini,” ucapnya pada akhirnya.
Rangga hanya mengangguk pelan dan menyesap kopi yang ia pesan.
“Tapi gue mau minta satu permintaan sama lo dan Adeline untuk yang terakhir kalinya,” Noah mengatur nafasnya yang terasa tercekat itu, kata-kata Rangga benar-benar menyadarkannya jika ia kalah “gue ngerasa ini gak fair.“
“Untuk kamu?”
Noah mengangguk.
“Gue ngerasa Adeline mutusin gue sepihak, gue gak pernah mengiyakan ucapan dia. Gak ada kata selamat tinggal di hari itu, gue mau ketemu Adeline sekali lagi. Untuk terakhir kalinya, Ga. Gue ngerasa gue harus selesain ini sama dia. Gue mau dengar ucapan selamat tinggal itu dari mulut dia. Mungkin dengan itu gue bisa memulai hidup baru tanpa dia,” nada bicara Noah bergetar, kepalanya memutar kembali kenangan indah mereka bersama dari sewaktu sekolah bercampur dengan perasaan bersalah, perasaan bersalah karena ia pernah memperlakukan Adeline dengan buruk.
“Gue cuma minta itu, gue udah bilang ini ke Asther. Dan dia setuju, gue cuma perlu dapat izin dari lo.”
***
“Mau ngajak saya kemana sih, Mas Rangga?” Adeline menoleh ke arah Rangga, pagi ini Rangga mengajaknya untuk pergi ke tempat yang Adeline sendiri tidak tahu, Rangga tidak mengatakan mereka ke mana.
“Saya mau ngenalin kamu sama seseorang sebelum kita ke Jogja, Del.”
“Iya tapi sama siapa?”