Pagi ini mereka memilih untuk sarapan gudeg, makanan khas Jogjakarta yang menurut Kelvin enggak boleh di lewatkan. Mereka lebih memilih makan gudeg di dekat pasar sembari memilih jajanan pasar yang bisa mereka bawa pulang ke resort.
Sembari bercerita dan terkadang Kelvin memotret apa saja yang menurutnya unik. Kelvin sudah sering ke Jogja namun rasanya tetap berbeda jika liburan bersama teman-temanya. Ia sering melakukan perjalanan untuk beberapa project pemotretan dan menghadiri pameran seni di berbagai daerah, Salah satunya ya di Jogja ini.
“Habis makan gudeg kita ke Cinema Bakery kan?” tanya Kikan di sela-sela makanya.
“Enggak kita mau sewa sepeda dulu, ke Cinema Bakery nya nanti aja pas mau balik ke resort,” timpal Kelvin. cowok itu makan lahap banget karena menurutnya gudeg itu sangat cocok dengan lidahnya, Kelvin enggak suka makanan yang pedas lidahnya lebih bisa menerima makanan manis dan gurih.
“Kamu mau beli apa, Ki?” tanya Nugi di sebelah Kikan.
“Pengen beli roti gitu, buat di resort sih. Sama buat oleh-oleh juga. Takut lupa aku kan pikunan Mas Nugi.”
“Beli oleh-olehnya di hari terakhir aja gimana? Sama aku, aku yang nemenin.”
Adel dan Alin langsung saling melempar pandangan mereka satu sama lain, sembari mengunyah makanannya. Adel mengulum senyumnya sendiri, ia berusaha menahan dirinya untuk tidak meledek Kikan dan Kakak sepupunya itu.
“MAU MAU MAU!” jawab Kikan cepat.
Di sebelah Nugi Vernon malah memutar bola matanya malas, biasanya ia yang selalu berduaan dengan Kikan. Vernon bukan cemburu kok, dia cuma ngerasa geli aja liat Kikan yang berubah jadi clingy jika sedang di depan Nugi.
“Di ajakin Mas Nugi aja lo cepat banget jawabnya, giliran gue yang ngajak aja. Nanti deh, Ver. Gue kabarin lagi lo tau kan gue sibuk banyak pasien,” Vernon menirukan gaya bicara Kikan jika sedang ia ajak pergi berdua.
Di kursinya Kikan hanya mendengus, ia masih berusaha menjaga image nya jika depan Nugi. Jadi dia diam saja sembari senyum-senyum walau di bawa meja kakinya menendang-nendang lutut yang ia yakini itu lutut Vernon.
“Kikan, anjir ya lo. Ini kaki gue yang lo tendang,” hardik Rayhan.
“Hah, masa sih kaki lo Ray? Pantesan aja gede.”
“by the way jangan sampai kita keasikan liburan, ingat ya tujuan utama kita selain liburan. Kita juga harus antar Vernon ke keluarganya ” Rangga memperingati. ia tidak ingin tujuan yang paling utama mereka mengantar Vernon jadi terlupakan karena asik liburan.
“Ahh iya Kak Vernon, kita mau ke rumah Ayahnya kapan?” tanya Alin.
Vernon berhenti makan sebentar, ia telah mendapatkan alamat tempat Ayahnya tinggal namun ia masih belum menyiapkan keberaniannya untuk menemui Ayah kandungnya itu. Sejak hari dimana Vernon, Rayhan dan Kelvin bercerita.
Di hari itu pula Vernon tidak kembali ke rumahnya, ia menginap di studio milik Kelvin. Telfon dari Mama, Papa dan Adiknya Naura pun tidak Vernon jawab. Ia pikir ia harus menenangkan dirinya, sekaligus menerima kenyataan jika ia bukan bagian dari keluarga Danuarta.
“Kalo di hari ketiga aja gimana Mas Rangga? Gue rasa gue harus nyiapin diri buat ketemu bokap. Takut gue di tolak, takut bokap lupa kalo punya anak laki-laki juga.”
Rangga mengangguk pelan “boleh, kapanpun lo siap. Kita bakalan anterin lo, Ver.”
“Tapi guys, boleh gak gue ke rumah bokap gue cuma di antar sama Mas Rangga, Rayhan dan Kelvin?” pinta Vernon, ia pikir ia butuh Rangga yang lebih dewasa dari pada mereka. Selain itu Vernon merasa Kelvin dan Rayhan juga harus berada di sana untuk menemaninya, kedua orang itu yang tahu bagaimana persis keadaan dan cerita tentangnya.
Kikan dan Adel saling memandang satu sama lain, Adel akhirnya mengangguk kecil pada Kikan. Ia berusaha menerima keputusan Vernon, karena Adel menyetujuinya maka Kikan juga akhirnya menyetujui keputusan Vernon.