“Kak Kelvin tuh suka ke sini ya?” tanya Alin. Hari ini mereka mengunjungi Istana Ratu Boko. Vernon, Kikan, Nugi, Adeline dan Rangga sudah jalan lebih dulu untuk menjelajahi sekitarnya. Di Istana ini mereka berpencar, namun jika sudah jam nya berkumpul mereka akan berkumpul kembali di depan pintu keluar.
Alin dan Rayhan jalan sedikit lebih lama, sama seperti Kelvin. Kalau Kelvin sih sibuk untuk memotret sekitar sembari membuat video pendek, kalau Rayhan. Ia mengimbangi Alin karena gadis itu mengeluh kakinya sedikit nyeri.
Pagi tadi Adel sudah menyuruh Alin untuk tetap berada di resort saja, Adel juga akan berada di resort untuk menemani Adiknya itu. Namun Alin bersikeras untuk tetap ikut, gadis itu terlalu excited karena ini pertama kalinya ia berlibur ke Jogja.
“Lumayan sering sih, Lin. Ya apalagi kalo bukan buat kerja,” jawab Kelvin tanpa menoleh ke arah Alin, cowok itu masih sibuk membidik sekitarnya.
“Kalau ke Istana Ratu Boko udah berapa kali, Kak?”
“2 kali sama yang sekarang ini, kalau yang pertama itu benar-benar sebentar. Karena cuma buat nyelesain project doang, jadinya ya enggak sempet explore semuanya.”
Alin mengangguk-anggukan kepalanya, di sebelahnya Rayhan masih setia menemaninya sembari menikmati panorama di sekitarnya. Terkadang ia juga ikut memotret tapi tidak luput untuk mengawasi Alin.
“Mas Ray,” panggil Alin.
“Hm?”
“Maaf ya karena Alin kita jalanya jadi lama gini,” Alin jadi ngerasa gak enak, sedari kemarin ia sudah memaksakan kakinya untuk terus berjalan. Sampai akhirnya melewati batas hingga berakhir nyeri pagi ini.
“Kenapa minta maaf sih, justru enak lagi jalanya pelan-pelan gini. Kan sekalian nemenin Kelvin tuh yang lagi sibuk sendiri,” Rayhan menunjuk Kelvin dengan dagunya, membuat Alin jadi tersenyum kecil.
“Iya sih, Mas Ray. Mau istirahat dulu gak? Kayanya kaki Alin makin ngilu buat jalan.”
Rayhan mengangguk pelan “boleh, kalau sakit banget gak usah di paksain ya, Lin. Mas gendong ke mobil aja gimana?”
Rayhan itu khawatir banget sama kakinya Alin, dia paham bagaimana ngilunya jika Alin terus memaksa dirinya untuk berjalan.
“Gak usah, Mas. Malu,” cicit Alin pelan.
“Kenapa malu sih? Sebentar ya” Rayhan mencari keberadaan Kelvin, perasaan tadi cowok itu hanya ada beberapa langkah di depannya. Namun sekarang keberadaan Kelvin sudah lenyap begitu saja “ah Kelvin gak jelas nih, ya udah tinggalin aja. Kita balik ke mobil aja ya, Lin.”
Rayhan berjongkok di depan Alin, tubuhnya menghadap membelakangi gadis itu. Membuat Alin sedikit mengerutkan keningnya bingung.
“Mas Ray ngapain?” tanyanya.
“Mau gendong kamu, buruan naik. Kita balik ke mobil aja ya? Mas Rayhan gak mau Alin kenapa-kenapa gara-gara maksain jalan.”
Sedikit sedih akan kekurangannya, namun Alin tidak bisa menyembunyikan buncahan kebahagiaan ketika Rayhan begitu perhatian dengannya. Ragu, namun akhirnya Alin memberanikan diri untuk naik ke atas punggung Rayhan. Memeluk leher cowok itu dengan terus mengulum senyumnya sendiri.
“Udah?” tanya Rayhan memastikan jika Alin benar-benar sudah dalam posisi yang nyaman di atas tubuhnya.
“Udah Mas Ray.”
Setelah memastikan Alin sudah dalam posisi yang tepat, Rayhan bangun dan berjalan menuju parkiran mobil mereka berada. Dia tidak perduli pada banyaknya pasang mata dari pengunjung lain yang memperhatikan mereka, yang terpenting adalah Alin yang harus segera ia bawa ke mobil.
Di belakang Rayhan, Alin mati-matian menahan senyum dan degup jantungnya yang semakin tidak karuan, perasaan bahagia itu terus muncul sejak kemarin.
“Mas Rayhan.”
“Iya?”
“Makasih banyak ya,” ucap Alin ketika keduanya sudah sampai di mobil, beruntung kunci mobil Rayhan yang pegang.
“Sama-sama, minum dulu ya,” Rayhan memberikan satu botol air mineral ukuran kecil untuk Alin. Gadis itu tampak sedikit berkeringat, mungkin karena ia menahan nyeri dan sakit di kakinya. “Mas Ray boleh lihat kaki Alin sebentar?”
Alin mengangguk pelan “mau di apain?”
“Paling mau Mas Ray potong aja sih terus di ganti pakai kaki kuda, mau?”
“Serem banget,” Alin terkekeh pelan, lamat-lamat ia memperhatikan Rayhan yang dengan telaten memeriksa kakinya penuh kehati-hatian. Di kursinya Alin hanya bisa tersenyum dan teringat akan kata-kata Nala di hari mereka terakhir bertemu.
Nala bilang dari pada menunggu Rayhan yang tidak jelas mencintainya atau tidak, kenapa Alin tidak menyatakan perasaanya saja langsung pada Rayhan. Setidaknya cowok itu tahu bagaimana perasaanya, itu yang di bilang Nala waktu itu. Alin tidak yakin apa ia memiliki nyali untuk sekedar mengungkapkan perasaanya pada Rayhan atau tidak.
“Nanti Mas beliin obat pereda nyerinya, tapi kalau sampai besok masih nyeri. Kita di resort aja ya, Lin?”