Edelweiss

Musim semi
Chapter #51

Kecurigaan dan Kenyataan Pahit (26A)

“Disini ternyata si Bunda, Ayah pikir udah tidur,” ucap Ayah begitu melihat Bunda sedang terduduk di balkon kamar mereka sembari menyesap teh rosela. Allura yang rajin membuatkan berbagai macam teh herbal untuk Bunda.

“Belum, Yah. Masih baca tapi sekarang udah selesai.”

“Kok sendirian? tumben. Ah, iya. Tadi check up sama Allura? Gimana kondisi kesehatan Bunda kata dokter Salim?” sekitar satu tahun yang lalu Bunda baru ketahuan memiliki kelainan pada klep jantungnya. Katup jantung yang tidak berfungsi dengan baik yang dapat menyebabkan darah mengarah balik dan sulit keluar dari jantung. ini juga dapat menyebabkan terbentuknya lubang kecil pada sekat jantung yang di sebut jantung bocor.

Hari ini Allura yang menemani Bunda karena Ayah sedang ada beberapa pekerjaan yang harus di urus.

“Baik kok, semuanya bagus. Gak ada yang harus di khawatirkan, Yah,” ucap Bunda. namun jawaban itu membuat Ayah merasa belum puas. Seperti masih ada yang mengganjal dari jawaban istrinya itu.

“Ada yang sedang Bunda pikirkan ya? Ada apa? Enggak biasanya diam sendirian di balkon malam-malam begini.”

Bunda mengangguk pelan mengiyakan, Bunda juga memijat pelipisnya pelan. Akhir-akhir pikirannya terasa penuh, sejak Rangga mengatakan jika ia sudah melamar gadis yang di sukainya. Dan berniat akan mempertemukan keluarga gadis itu dengan keluarganya.

Ada perasaan curiga saat beberapa kali Bunda sering memergoki Rangga mengantar dan jemput Adeline, keduanya tampak lebih dekat dari biasanya. Bunda takut jika gadis yang di maksud Rangga itu adalah Adeline.

“Ada apa? Cerita sama Ayah, Bun. Jangan di pendam sendiri.”

“Soal Rangga, Mas.”

“Mas Rangga?”

Bunda mengangguk.

“Ada apa?”

“Beberapa kali Bunda liat Rangga sama Adeline pergi berdua. Mereka dekat banget, kaya enggak seperti biasanya.”

Ayah mengangguk pelan, Ayah juga sering melihat Rangga bersama Adeline. “hm, terus? Bukanya anak-anak kita memang dekat sama anaknya Mbak Saras dan Mas Ferry?”

“Iya Bunda tau itu, tapi disini. Apa Ayah gak curiga sama Rangga? Sama gadis yang di lamar dia dan kedekatannya sama Adeline?” Bunda menatap mata Ayah, keduanya saling melempar pandangan satu sama lain. Sampai disini Ayah baru paham apa yang di pikirkan Bunda tentang Rangga dan juga Adeline.

“Bunda takut gadis yang Rangga maksud adalah Adeline. Mas Dim, Rangga dan Adeline itu saudara. Mereka enggak bisa menikah.”

Ayah hanya diam saja, pria itu menunduk dengan penuh kerisauan memikirkan anak sulungnya itu. Jika benar apa yang Bunda duga, bagaimana cara memberi tahu Rangga akan semua ini. Mereka memang tidak pernah menjelaskan pada Rangga maupun Rayhan soal ini.

Terutama pada Rangga jika ia dengan Adeline dan Alin adalah saudara meski bukan saudara kandung. Rangga dan Adeline pernah menyusu dari Ibu yang sama, yaitu Mbak Saras, Ibu dari Adeline. di agama mereka bahkan terdapat istilah saudara sepersusuan, yang berarti bila dua bayi menyusu dari ibu yang sama, maka 'dianggap menjadi seperti saudara.'

Dan menjadi haram hukumnya jika Rangga sampai menikahi Adeline, itu sama saja ia akan menikahi saudara kandungnya sendiri.

“Kalau sampai dugaan Bunda benar, gimana kita harus kasih tau soal ini ke Rangga, Mas?”

“Biar Ayah yang bicara sama Rangga nanti.”

“Gak bisa nanti, harus sekarang sebelum semuanya terlambat. Itu bakalan nyakitin mereka.” tidak, ini bahkan sudah dikatakan terlambat. Harusnya Bunda dan Ayah mengatakan ini sejak mereka bertemu pertama kali atau sejak mereka kecil saja. Dengan begitu baik Rangga maupun Adeline bisa saling memahami jika mereka adalah saudara.

Setelah menenangkan Bunda soal Rangga dan Adeline, Ayah tidak langsung tidur. Ia keluar dari kamar dan menunggu Rangga di depan teras rumah, ini udah jam sepuluh malam dan Rangga belum pulang juga.

Ayah sedikit memijat pelipisnya, kepalanya jadi ikut nyeri memikirkan jika dugaan Istrinya itu benar. Itu artinya ia akan menyakiti anak sulung mereka, lagi. Tidak lama kemudian pagar rumah terbuka, menampakan mobil Rangga yang masuk ke halaman rumah.

Ayah berdiri, dari jauh sudah memberikan senyuman untuk menyambut anak sulungnya itu pulang.

“Ayah kok nungguin Mas di luar?” tanya Rangga, anak itu menyalami punggung tangan Ayahnya dan hendak mengajak Ayahnya itu masuk.

“Kepikiran, Mas. Mas capek gak?”

Lihat selengkapnya