Edelweiss

Musim semi
Chapter #54

Berkelit (27B)

sekarang aku sendiri bersama dinding penuh sunyi dan kenangan hangat yang tersimpan di kening


Adeline pulang dari rumah Aurora setelah semalaman ia menginap menemani anak itu, Aurora sedikit demam. Anak itu menyimpan kecewa pada Ayahnya, Adeline ingin marah. Ia sudah tidak tahan dengan semua sikap Rangga yang kian hari semakin jauh.

Ia tidak perduli nantinya Rangga akan marah jika ia datang ke rumah sakitnya dengan mendadak seperti ini, Adeline rasa ia perlu bicara serius. Dia enggak bisa diam aja menerima semua pengabaian Rangga, ia butuh penjelasan.

Saat Adeline tiba di rumah sakit, kebetulan Rangga juga baru tiba bersama dengan Aksa. Adeline langsung menghampiri Rangga sebelum cowok itu masuk ke dalam ruangannya.

“Mas Rangga!” sentak Adeline, Rangga menoleh. Tidak ada senyuman hangat lagi di wajah datarnya itu, enggak seperti biasanya Rangga yang penuh senyuman saat melihat Adeline datang.

“Ga, gue ke dalam duluan ya,” pamit Aksa yang di balas anggukan oleh Rangga.

“Kamu ngapain ke sini?” tanya Rangga.

“Kamu tuh kenapa sih? Saya ada salah sama Mas Rangga?” ucap Adeline to the point ia berusaha menahan air matanya, ia tidak boleh menangis sekarang.

“Kenapa gimana?”

Adeline mendengus, Rangga benar-benar berubah pagi itu, tidak, bukan hanya pagi itu. Rangga sudah berubah dari kemarin. Apa dia melupakan semua janjinya pada Aurora?

“Mas lupa kalau Mas punya janji sama Ola? Mas juga jauhi saya, telfon saya gak pernah di angkat, chat saya enggak pernah Mas baca, Mas gak kasih saya kabar apa-apa! Kenapa, Mas? Saya punya salah?”

Suara Adeline bergetar, pertahanan yang ia bangun sejak di jalan luruh begitu saja. Apalagi saat melihat tatapan dingin Rangga yang begitu menusuk hatinya, jika ini bukan di tempat umum. Mungkin Adeline sudah menangis seperti seorang anak kecil.

Adeline bilang kalau ia lupa pada janjinya? Bagaimana Rangga bisa lupa? Semalaman ia bertarung dengan rasa penyesalan dan bersalahnya pada kedua perempuan itu. Ia sangat merindukan Aurora dan Adeline, tapi mendekat pada keduanya bisa menjadi celaka untuk mereka.

“Iya saya lupa. Adeline, Kamu bisa gak, enggak ngomong hal kaya gini di sini? Saya lagi kerja.”

“Gak bisa!”

“Adeline—”

“Saya gak masalah Mas Rangga bohongin saya, tapi Aurora kecewa banget sama Mas. Dia kecewa waktu saya datang cuma sendiri, dia kangen kamu. Dia nunggu hari itu udah lama dan Mas bohongin dia!” tanpa sadar Adeline sedikit meninggikan suaranya, bahkan beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar mereka sampai menoleh.

Rangga memejamkan matanya sebentar, sebelum Adeline semakin meledak akhirnya ia membawa gadis itu ke mobilnya. Ia pikir bicara di dalam mobil akan lebih leluasa untuk mereka berdua.

Di dalam mobil mereka sempat hening sebentar, hanya ada isakan dari bibir Adeline. Gadis itu menangis, Rangga kembali meruntuki dirinya. Ia dengan sengaja membuat wanitanya menangis.

Rangga mengepal tangannya kuat-kuat, ia bukan hanya menyakiti Adeline tapi juga dirinya sendiri. Sampai di rasa Adeline sudah sedikit tenang, barulah Rangga berani mengajak gadis itu bicara kembali.

“Adeline, saya minta maaf,” ucapnya setengah berbisik.

“Kamu lebih baik minta maaf sama Aurora, dia lebih kecewa sama Mas di banding saya.”

“Saya gak bisa temuin dia.”

Adeline menoleh, “kenapa? Ada apa sih, Mas? Ayah juga bicara hal yang sama, Ayah juga suruh saya buat enggak ketemu dulu sama Mas. Ini tuh apa sih?” Adeline ngerasa keanehan ini bukan cuma ada pada Rangga tapi pada Ayah juga, pasti ada sesuatu yang terjadi. Tapi ia tidak tahu itu apa.

“Adeline, saya rasa. Hubungan kita cukup sampai disini aja.”

Tidak ada sahutan di antara mereka, lagi. Hanya ada suara retakan kedua hati mereka yang hancur berkeping-keping. Rangga seperti sedang menusukan belati ke jantungnya dan juga Adeline.

“Mas—”

“Saya cuma jadiin kamu bahan taruhan sama yang lain,” kalimat itu berhasil membuat air mata Adeline kembali merembes. “Saya dan teman-teman saya taruhan. Mereka mau lihat bagaimana saya bisa naklukin kam—”

Rangga belum sempat melanjutkan kalimatnya lagi, tapi tangan Adeline sudah melayang dan mendaratkan sebuah tamparan diwajahnya.

Perih...

Tapi Rangga merasa ia pantas mendapatkan ini. Bahkan rasa sakitnya mungkin tidak sebanding dengan luka di hati Adeline.

Lihat selengkapnya