Matahari sudah semakin naik Adeline masih enggan untuk bangkit dari ranjangnya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri akhir-akhir ini, semalaman juga ia terus menangis. Meratapi dirinya dan kenyataan yang baru saja ia dapat dari orang tuanya.
Adeline bukan tidak tahu jika sejak pagi Mom terus mengetuk pintu kamarnya demi memastikan Adeline baik-baik saja, ia dengar itu. Tapi rasanya ia belum bisa keluar dari kamarnya, Adeline ingin pergi atau hilang ingatan saja agar rasa sakit di hatinya itu hilang.
Biasanya jika ia sedang merasa hancur seperti ini Kelvin selalu ada untuknya, sekarang cowok itu hilang entah kemana. Pesan dan teleponnya dari semalam pun tidak di jawab oleh Kelvin.
Adeline meraba ponselnya, membaca satu persatu pesan yang masuk ke ponselnya. Namun tidak ada nama yang ingin ia lihat di sana, ia kembali menyimpan ponsel itu lagi dan segera bangkit dari tempat tidur. Ia harus bertemu Rangga hari ini dan membicarakan hal ini pada cowok itu.
Hatinya belum bisa menerima kenyataan jika ia dan Rangga adalah saudara. Sulit untuk di percayai, ia memang menginginkan Rangga untuknya tapi bukan sebagai saudara seperti ini.
Setelah selesai mencuci muka, Adeline memberanikan diri untuk keluar. Bersamaan dengan ia yang keluar dari kamarnya, ternyata Alin juga ikut keluar. Mereka saling menatap dan menelisik satu sama lain. Alin juga terlihat hancur karena pertengkaran semalam, matanya sembab dan hidungnya masih sedikit memerah.
“Alin,” panggil Adel.
Namun Alin hanya melengos begitu saja, Adeline yang merasa Alin mengacuhkannya akhirnya mengejar Adiknya itu.
“Alin, Kakak mau ngomong sebentar,” ucap Adeline, dan ia berhasil menghentikan langkah Adiknya itu.
“Apa? Mau ngomong apa?!” jawab Alin sengit.
“Alin, kamu kenapa sih?”
Alin mendengus, ia menggeleng kepalanya pelan. Rasanya belum cukup ia meluapkan amarahnya semalam. Ia masih memendam perasaan kesal pada Adeline meski ia tahu itu bukan salah Adeline juga, Alin hanya merasa dunia hanya berpihak pada Adeline saja.
“Emang aku harus gimana ke Kakak?”
“Alin, Kakak tanya kamu baik-baik.”
Alin ngerasa ini masih terlalu pagi untuknya beradu mulut kembali, dari pada menjawab pertanyaan Adeline lebih baik ia menuruni anak tangga untuk menuju dapur.
Sedang menuruni satu persatu anak tangga. tangan Alin kembali di tarik oleh Adeline, dia ngerasa Alin gak menghargainya sebagai Kakak. Padahal Adel hanya mengkhawatirkan Adiknya itu karena perdebatan Alin dan kedua orang tua mereka semalam.
“Kakak apa-apaan sih?! Ngapain narik-narik gue?!” teriak Alin.
“Kamu yang kenapa? Kakak cuma khawatirin kamu karna semalam.”
“Ngapain khawatirin gue? Gak usah sok perduli, Kak. Gue gak butuh perhatian dari Lo, Mom dan Dad. Di rumah ini gak ada yang benar-benar perduli sama gue!”
Tenggorokan Adeline terasa tercekat, setelah kenyataan pahit semalam. Di pagi harinya ia masih harus menerima kejutan buruk yang lain, dalam hati Adeline merasa menyesal telah keluar dari kamarnya.
“Alin—”
“Apa?” Alin menaikan dagunya “emang bener kan, semua orang cuma perduli ke lo. Mom, Dad, Mas Nugi, sampai Mas Rayhan juga cuma perduli sama lo!” Alin teriak, ia benar-benar meluapkan emosinya.
Adeline yang tidak tahan karena terus di teriaki akhirnya melayangkan satu tamparan di wajah Alin, wajah Adiknya itu terhuyung ke kiri. Perih di hatinya belum sembuh dan Alin harus menerima perih di wajahnya akibat tamparan Kakaknya itu.
Adeline yang sadar langsung menatapi tangannya, ia kemudian ingin mengambil tangan Alin namun Adiknya itu menepis tangannya dengan kasar.
“Gue benci lo, Kak! Dunia cuma suka sama lo. Dad, Mom, Mas Rayhan, Kak Kelvin. Semua cuma suka dan sayang sama lo!!”
Adeline sedikit tersentak atas ucapan Alin barusan, Rayhan dan Kelvin? Apa maksudnya?
“Alin, lo harusnya sadar kalau Mom sama Dad juga sayang sama lo, Lin!” bentak Adeline. “Mereka melindungi cita-cita lo yang kepengen jadi balerina. Sedangkan gue?! Gue banyak ngorbanin semua cita-cita gue demi lo. Cuma demi Elo!!”
Keduanya saling menangis, dan ini pertama kalinya Adeline mengungkapkan isi hatinya pada Alin. Tentang ia yang merelakan cita-citanya demi melindungi cita-cita Adiknya itu.
“Eyang sama Omah itu kepengen anak-anak Dad jadi dokter, pas tahu lo lebih tertarik di seni dan memilih menjadi penari ballet. Eyang dan Omah marah banget, mereka gak mau ngedukung cucunya buat berkecimpung di bidang itu. Mereka mau anak-anak Dad jadi Dokter, dan lo tau apa yang gue janjiin sama Eyang dan Omah?” Adeline menarik nafasnya pelan. Kejadian itu juga menyakitkan hatinya, dimana ia harus merelakan cita-citanya sebagai seorang pianis demi melindungi cita-cita Alin.
“Gue bikin perjanjian sama Omah, kalo gue bisa jadi Dokter. Omah dan Eyang gak perlu nentang apa yang pengen lo lakuin! Lo gak pernah tau kan?! Lo cuma mikirin diri lo doang!”
Alin berbalik badan, ia menatap Kakaknya yang tampak marah sekaligus sedih itu. Wajah Adeline memerah dan air mata terus turun dari pelupuknya.
“Mati-matian gue lindungin cita-cita lo, dukung lo, dan berusaha jadi pengganti Mom dan Dad waktu gue pindah ke Bali. Yang Mom khawatirin itu cuma elo, setiap kali mereka telfon gue yang mereka tanya itu cuma keadaan lo!”
“Kak...” ucap Alin lirih, ia baru tahu fakta ini. Pantas saja saat Adeline resmi masuk ke kampus kedokteran Eyang dan Omah nya tidak lagi melarangnya untuk ballet dan melukis.
“Puas lo nyalahin gue?” Adeline mengusap air matanya, niatnya untuk turun ke lantai satu ia urungkan. Adel pun kembali ke kamarnya.
Namun Alin justru mengejar Adeline, kedua Kakak beradik itu sempat saling menahan pintu. Alin menahan pintu kamar Adeline agar tidak di tutup sedangkan Adeline terus mendorong pintunya agar tertutup.
Tenaga Alin tidak sebanding, ia kalah dan pintu kamar Adeline tertutup dengan sangat kencang. Begitu pintu itu tertutup, Adeline langsung merosot. Ia kembali menangis menyesakan sembari memeluk lututnya sendiri.
“Kak Adel... Gue minta maaf” ucap Alin di sela-sela isaknya.