Teruntukmu hatiku
Inginku bersuara
Merangkai semua tanya
Imaji yang terlintas
Berjalan pada satu
Tanya selalu menggangguku
Seseorang itukah dirimu kasih
Kepada yang tercinta
Inginnya kumengeluh
Semua resah di diri
Mencari jawab pasti
Akankah seseorang yang kuimpikan kan hadir?
Raut halus menyelimuti jantungku
Cinta hanyalah cinta
Hidup dan mati untukmu
Mungkinkah semua tanya
Kau yang jawab
Dan tentang seseorang
Itu pula dirimu
Ku bersumpah akan mencinta
Begitu Rangga selesai menyanyikan lagu itu, Adeline langsung bertepuk tangan dengan riang. Membuat Rangga sedikit tersipu dan menaruh gitar yang tadi ia pakai untuk bernyanyi.
“Bagus gak?” tanyanya.
Adeline mengangguk semangat, “suara kamu bagus, selalu bagus. Kapan-kapan nyanyiin aku lagi ya.”
“Mau aku nyanyi lagu apa hm?” Rangga menatap Adeline.
Mereka baru saja melangsungkan pernikahan seminggu yang lalu, dan mereka sedang berada di Belanda untuk bulan madu. Rencananya mereka bukan hanya ke Belanda saja sih, tapi juga akan mampir ke Jerman. Mereka sepakat akan berkeliling ke tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi sebelum bertemu dulu.
“Apa aja, aku suka semua lagu kalau kamu yang nyanyiin.”
Rangga terkekeh pelan, dengan gemas ia menjawel hidung Adeline hingga gadis itu tersenyum penuh malu.
“Gombal terus, harusnya yang gombal itu aku.”
“Emangnya bisa? Muka kamu tuh terlalu sering kelihatan serius sampai gak cocok kalau menggombal.”
Rangga menggeleng pelan, “kayanya aku harus banyak belajar merayu deh dari Ayah atau Rayhan.”
Adeline berdiri dari duduknya, bahkan menurutnya tanpa Rangga melontarkan kalimat manis untuknya, Cowok itu sudah bisa membuatnya jatuh sedalam ini, Adeline duduk di pangkuan Suaminya itu dan membuat Rangga sedikit terkejut.
Namun sedetik kemudian ia merengkuh pinggang itu agar tidak jatuh, keduanya saling memandangi wajah mereka satu sama lain. Mata berwarna coklat hazel yang selalu membuatnya jatuh cinta itu kini menatapnya lekat, Adeline tidak ingin berkedip sedetik pun.
Seolah-olah jika ia berkedip Rangga akan hilang dari pandanganya. Rangga tersenyum, tangan kananya mengusap pinggang itu dan mengecup singkat pipi kiri Istrinya itu.
“Ik houd van jou, Adelia,” ucap Rangga dengan nada bicara yang sangat dalam.
“Ich liebe dich auch, Mas Rangga.”
Keduanya saling tersenyum, Rangga menyatukan kening mereka dan memejamkan matanya. Menikmati saat-saat bersama Adeline, menghirup aromanya dan hangat tubuh Istrinya itu.
Namun sedetik kemudian Adeline tersentak ketika melihat darah segar menetes mengenai baju putih yang ia kenakan, Adeline sontak langsung menjauhkan wajahnya dari Rangga.
“Mas Rangga?” darah itu menetes dari hidung Rangga, wajah Suaminya itu juga pucat. Adeline panik bukan main, semakin ia sumbat darahnya semakin darah itu menetes bertambah banyak .“Mas Rangga kita ke rumah sakit aja yuk.”
“Gapapa, Aku gapapa, Sayang.” Rangga kemudian terbatuk, bersamaan dengan pria-pria yang tidak mereka kenal datang. Pria itu menyeret Rangga keluar dari rumah mereka dengan sangat kasar, berusaha memisahkan Adeline dari Rangga.
“MAS RANGGA!!” teriak Adeline, keabsahannya dalam berjalan tiba-tiba menghilang. Kakinya terasa sulit di gerakan ia tidak bisa menahan suaminya itu untuk tetap tinggal. Adeline hanya bisa menangis di tempat, memandangi Rangga yang kian menjauh dan hilang di balik lorong hitam tak berujung tanpa sepatah katapun.
Tidak... Tidak ada yang boleh merebut Rangga lagi darinya, tapi kakinya tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa menahan pria-pria yang membawa Suaminya itu pergi. Kilasan manis sekaligus menyakitkan itu tiba-tiba sirna di gantikan dengan cahaya terang yang menerpa wajahnya.
Adeline mengerjap, ia sedikit mengucek matanya. Ini bukan rumah mereka, melainkan sebuah ruangan yang di dominasi warna putih dengan bau obat-obatan menyeruak ke dalam rongga hidungnya. Ruangan dingin dan bunyi alat Elektrokardiogram itu langsung menyadarkannya dari mimpinya barusan.