Berbagai mata memandang takut, jijik, dan kesal pada seorang anak yang mematung di tengah ruangan. Dengan mata hazelnut yang nyaris pekat itu dilihatnya berbagai orang dewasa yang menatapnya penuh penghakiman.
"Dasar pembawa sial, kenapa tidak kau saja yang mati? Kenapa harus Putra dan Menantuku yang mati," pekikkan itu dari seorang wanita yang sedang menangis dengan memberikan tatapan kebencian yang begitu menguar pekat.
Bocah kecil yang mendapat makian itu sudah mengalirkan air mata membasahi pipi mungilnya semenjak melihat kemarahan yang diberikan dari semua mata yang ada di sini . Dia bahkan tidak menyangka, orang yang dikenal sebagai neneknya itu bisa mengatakan hal semenyakitkan barusan. Padahal dia sangat sayang padanya sebelum kejadian ini.
"Ne-nek..." panggilnya ketakutan dengan kepala yang masih dililit sebuah perban. Bahkan wajah sang anak itupun masih dihiasi sebuah memar yang kentara. Namun yang dipanggil dengan nama demikian semakin memberikan kemarahannya di raut wajah yang memerah.
"Jangan panggil aku begitu, dasar pembawa sial. Bawa dia pergi jauh dariku." Sang anak bertambah deras air matanya karena sekali lagi mendengar hal menyakitkan seperti itu dari keluarganya sendiri. Ia sesegukkan karena tidak mau harus diusir ke luar rumah ini, "dia ini memang membawa kutukan semenjak dilahirkan."
Perkataan barusan membuat anak yang baru berusia sembilan tahun mencelos hatinya. Entah kenapa dia bisa menangkap garis besarnya hingga sang nenek dan orang-orang di sini sampai memberikan tatapan demikian untuknya. Rasanya, dia memang harusnya tidak ada di dunia ini.