Dok dok dok
Suara pintu yang digedor memenuhi lorong ini. Para werewolf yang memiliki telinga sensitif tidak berani ke luar untuk sekadar mengintip. Karena suara tersebut berasal kawasan milik si Beta dan kawanannya. Bahkan Ray Lenob selaku orang terdekatnya tidak berani juga menghampiri. Terlihat sekali wajah Xilou Han yang mengeras itu tidak ingin diganggu.
"Xion Qi, buka pintunya?" katanya lagi untuk kesekian kalinya. Kamar tidur yang terletak di samping tempatnya itu tertutup rapat, seolah menolak kehadirannya. Semenjak tadi sang gadis tidak mau keluar kamar, sampai melewatkan sarapan paginya juga.
Tadinya Xilou hanya berpikir, bahwa gadis itu akan turun jika lapar nanti. Dan sekarang beginilah hasilnya.
Suara langkah yang mendekat tidak membuat Xilou acuh. Mata tajam pria itu menatap daun pintu seakan Xion Qi memang ada di hadapannya. Gadis tersebut pasti marah sekali karena insiden kemarin pikir sang pria melihat wajah Xion yang menahan kesal.
Terang saja Xion Qi begitu, melihat calon tunangan Xilou memakinya habis-habisan. Bahkan dia tidak sempat membalas hal demikian karena Meyle menghujaninya dengan prasangka buruk. Dan yang lebih menyedihkan lagi, dia dikatai gay karena cemburu buta Meyle yang tidak tahu akan jati dirinya. Karena Meyle itu sudah salah menafsirkan perkataan Ray Lenob kemarin.
Mengingat hal kemarin semakin membuat kekesalan Xion berlipat ganda, bahkan ia baru bisa berbicara ketika Meyle sudah diseret pergi oleh Ming Xue, kakak dari Ming Hue.
"Tuan muda, Alfha memanggilmu," kata seorang pria tua yang seumuran dengan kakeknya Xilou.
"Aku tidak ada urusan dengannya, pergi sana," desis Xilou semakin kesal dengan kondisi sekarang. Beta itu semakin melirik tajam karena pria ini tiada bergeming menerima penolakannya. Yang mana masih diam bak patung di sebelahnya.
"Xilou, kenapa begitu pada Alfha?" tanya Lou Jiang tidak senang dengan sikap Xilou Han yang begini.
"Karena dia selalu membuatku kesulitan, jadi pergilah." Xilou menatap penuh pria kepercayaan kakeknya itu. Lao yang melihat tingkah cucu Leen pun hanya menghela napas. Bisa dibilang perangai Xilou menjadi seperti ini karena ulah Alfha itu sendiri.
"Baiklah jika kau tidak mau. Tapi kenapa Beta terus menggedor pintu itu? Ada masalah yang terjadi?"
"Jangan pura-pura tidak tahu, old man." Dengusan itu membuat Lao menipiskan bibir. Karena memang pria ini sudah tahu apapun yang terjadi di rumah ini. Orang kepercayaan Leen Han mempunyai telinga di sudut manapun untuk memantau pergerakkan kawanan mereka.
"Bagaimana kabarmu? Istriku terus menanyakanmu saat mendengar kabarmu pulang?" Terlihat wajah Lao lebih santai, Xilou pun hanya bersedakap dada melihatnya sambil menyandarkan tubuh ke pintu. Dengan sikap awasnya, dia mulai mendengarkan perkataan pria ini. Bisa di bilang Lao adalah mentor Xilou dalam pengendalian dirinya dulu.
"Apalagi sekarang Tuan Muda menjadi terkenal."
Senyum hangat itu membuat Xilou memicingkan mata curiga, pasalnya Lao sama liciknya dengan sang Alfha. "Kakek itu memang tidak bisa diam, yah?" kata Xilou kesal. Dia sadar Lao sendiri disuruh memata-matai dirinya juga.
"Dia memang begitu kalau menyangkut Anda," kata sang ajudan membela.
Xilou berdecak lidah, perasaannya bertambah sebal melihat Lao mengatakannya dengan senyum memuakkannya itu. Sudah pasti pria ini ingin menghajarnya kembali seperti dulu. Karena sudah berani kabur dari kelompokkannya. Membangkang terhadap sang Alfha.
"Anda ditolak Nona itu?" tanya Lao dengan melirik sekilas pintu kamar Xion Qi.
"Tidak, itu—" Mata Xilou membulat sesaat. Si Beta memincing tajam melihat rupa yang masih mempertahankan senyumnya di sana. "Nona? Paman tahu siapa dia...?" tanya Xilou waspada serta mengeraskan rahangnya. "Apa, Kakek tahu?"
"Saat ini belum..." jawab Lao menatap wajah Beta-nya yang merasa tidak senang, "apa karena ini Anda bersikap demikian pada Nona itu?" Lao berbisik mengatakannya, namun Xilou mendengarnya sangat jelas.
"Jangan mengatakan apapun tetang masalah ini paman Jian. Bahkan jika itu Paman, aku tidak akan segan."
Xilou menatap serius kepada Lao yang sedikit memiringkan senyumnya. Entah kenapa pria ini sedikit senang melihat aura mengancam dari cucu Alfha ini. Hal itu menandakan Xilou semakin bertambah dewasa. Sudah mulai mengancam dengan yang dirasa miliknya? Mungkin.
"Saya akan begitu kalau Anda mau menemui Alfha dulu."
Memang licik, pria ini tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kalau bisa dimanfaatkan, kenapa tidak? Itulah moto Lao Jiang mempergunakan situasi yang ada.
"Paman mengancamku?" tanya Xilou tidak percaya. Lao yang mendengar hal itu hanya memberikan senyum mengejeknya, seperti dulu ketika melatihnya sampai babak belur.
"Hm, yang di sini, serahkan saja pada Paman." Senyum itu terlihat meyakinkan, namun Xilou ragu Lao bisa menangani Xion Qi yang begini, "Tuan Muda masih tidak bisa menangani perempuan, yah." Mata Lao terlihat meremehkannya sambil berkata barusan.
Xilou yang dibegitukan hanya membuka bibir tanpa suara. Pria ini jadi tidak tahu harus menjawab apa dengan ucapan orang tua satu ini. Ketimbang sang kakek, Lao lah yang lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Mengingat Leen begitu sibuk dengan urusan para kelompok werewolf.
"Dia...agak berbeda, jadi jangan lakukan apapun saja," kata Xilou meminta Lao untuk tidak mencampuri urusan mereka berdua.
"Baiklah, saran saya. Sebaiknya Tuan lebih lembut. Biar bagaimanapun dia tetap seorang perempuan. Dan ingatlah status Meyle di kelompok kita ini, saya sendiri sedikit mengerti perasaannya. Cobalah berbicara pada calon tunangan Anda juga."
Biar bagaimanapun Lao sudah menganggap Xilou sebagai cucunya. Melihat pria ini yang masih sulit menghadapi situasi macam ini membuatnya ingin memberikan solusi juga.
"Baik, aku akan coba berbicara padanya lagi." Jemari Xilou mengusap wajahnya, seakan amarahnya bisa reda jika melakukan hal itu.
Sebaiknya ia menemui sang kakek dulu. Setelah itu barulah ke sini lagi. Setelah menimbang semuanya, mata Xilou kembali melirik sebentar pintu yang ada di belakangnya. Lalu ia pun memutuskan untuk meninggalkan Xion Qi sendirian dulu. Meski hatinya tidak rela karena rasa khawatir.
Lao yang ditinggalkan memperhatikan tingkah laku Xilou yang lain dari biasanya. "Apa dia sadar dengan sikapnya itu?" guman Lao melihat sikap sang Beta terhadap Xion Qi, karena Xilou menjadi sensitif jika sudah menyangkut rekannya.
Sedangkan di dalam kamar, Xion Qi hanya tiarap di atas kasur. Mata itu hanya menatap lemari pakaian yang ada di sisi kirinya. Dia sendiri tidak habis pikir melihat sikapnya yang begini. Yang mana tidak mau menemui Xilou, karena pria turut andil dengan rasa sakit hatinya akan ulah Meyle itu.
Lagian, kenapa juga dia berbuat begini? Dengan tidak mau menemui pria itu. Seakan menjelaskan dia kesal karena Xilou membiarkan tunangannya bertindak demikian. Padahal dia sudah tahu sendiri jika pria yang bersangkutan tidak memiliki perasaan khusus pada calon tunangannya. Karena Xilou sendiri sudah menjelaskan hal demikian padanya. Bahkan pada malam kemarin Xilou pun turut membelanya ketika Meyle itu dianggap sudah keterlaluan dengan ucapannya.
"Huh, dasar menyebalkan," bisiknya kesal karena perkataan Meyle lagi-lagi tergiang di telinganya. Tahu begini dia tidak akan mau datang kemari.
"Aku lapar..." keluh Xion Qi melingkar tubuhnya.
Salahnya sendiri bertingkah seperti ini. Merajuk pada pria itu agar Xilou mengerti dia sedang marah. Padahal dia tidak pernah begini pada siapapun, bahkan juga pada Xilou sebelumnya. Meski mencoba memungkiri, fakta bahwa Meyle adalah calon tunangan pria itu sedikit mengganggunya. Menyadarkan Xion bahwa tidak bisa leluasa jika berada di dekat Xilou sekarang.
"Ada apa sih denganku?" Xion Qi menguburkan wajahnya di bantal. Jantung yang dimiliki kembali berdetak liar ketika ia mengingat tatapan pria itu padanya lagi.
Karena tidak mau memikirkan hal itu lagi, Xion mencoba memejamkan matanya dengan kemelut di pikiran. Sampai tiba ia memasuki dunia mimpinya lagi, tanpa tahu situasi di sekitarnya yang bisa berubah kapan saja mengingat insting liar para werewolf.
••
Menit berlalu begitu cepat, sinar matahari mulai terasa panas karena hari beranjak siang. Begitu terbangun lagi, mata kelam menangkap sama-sama bayangan seseorang. Xion yang masih tidur tengkurap dengan selimut hangatnya mencoba membuka mata lebih lebar untuk melihat siapa itu.
Dan bisa dilihat oleh bahwa Xilou duduk di kursi kayu dengan membalik tempat duduk tersebut. Sang pria menompang dagu yang beralaskan lengannya di atas sandaran kursi kayu. Dengan menatapnya lurus, seakan menanti pergerakannya sendiri. Begitu tajamnya binar menawan itu, sampai menghipnotis mata kelam yang masih menilik hazelnut milik Xilou.
Sejenak mereka pun hanya bisa saling menatap saja, sampai Xion Qi membuang wajah ke arah samping. Tidak mau melihat pria itu ketika teringat kejadian kemarin lagi.
Xilou yang melihatnya begitu hanya menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Merasa sulit harus bagaimana menarik perhatian Xion Qi yang seperti ini. Entah kenapa ia tidak seperti biasanya, agak susah meminta maaf karena kemarahan Xion Qi akibat dari pihaknya sendiri—kawanannya.
Xilou beranjak dari kursi, ia menghampiri dengan perlahan tempat tidur yang sisinya kosong. "Maaf..." kata pria itu yang masih tidak mendapatkan respon apapun. Membuat Xilou sedikit berat hati melihat wajah itu tidak mau menatapnya.
"Hei, Meyle memang sangat kekanakan. Namun dia tidak akan berbuat jahat, hanya tidak bisa mengendalikan emosinya. Aku sudah menjelaskan padanya juga, bahwa kami tidak bisa melanjutkan pertunangan ini. Aku tidak mau terikat dengan hal yang tidak sesuai dengan keinginan hatiku."
Xion Qi yang mendengar menggigit bibir bawahnya. Dia merasa tidak enak hati karena membuat Xilou harus mengatakan hal itu pada calon tunangannya, agar gadis itu tidak mengganggunya lagi. "Meski dia masih tidak mau terima, sih." Terdengar desahan berat dari Xilou, Xion pun menjadi tidak tega melihat kondisi pria itu. Pastilah Meyle sangat keras kepala terhadap temannya ini.
"Hei, apa kaumasih marah padaku? Kalau begitu, aku akan meminta Meyle untuk meminta maaf juga padamu," kata Xilou membuat Xion Qi mendelik cepat.
"Jangan," jawab sang gadis mengalihkan kepalanya. Jari itu menahan lengan Xilou cepat ketika dirasa kasur di sampingnya bergerak pelan, menandakan pria itu akan segera beranjak pergi, "biarkan saja..." imbuhnya lagi dengan perlahan melepaskan lengan pria yang kembali menatap padanya.
Xilou yang melihatnya begitu tidak jadi beranjak, apalagi jemari Xion agak dingin di kulitnya. "Bukannya kau kesal padanya? Kalau perlu akan aku suruh dia meminta maaf ke sini."
Tidak tahu mengapa, mendengarnya sedikit membuat Xion senang. Karena dirasa Xilou lebih mengutamakan perasaannya. Dalam hati Xion bertanya-tanya, apa sikap pria ini bisa membawa pengaruh ke hatinya? Sial, kenapa ia harus merasa berdebar dengan hal ini, maki Xion dalam hati.
"Tidak perlu, aku seperti orang jahat saja, kalau sampai dia harus begitu karena kau marahi," ujar sang gadis menggigit ujung bibirnya. Xilou pun hanya bisa tersenyum pelan menyadari Xion Qi balik merasa bersalah karenanya.
"Sudah tidak marah lagi?" tanya Xilou seperti sedang mengejek gadis itu.
"Siapa yang marah? Aku, aku hanya lelah." Xion membalikkan tubuhnya, lalu menarik selimut sebatas kepalanya. Sampai memperlihatkan sejumput rambut kelamnya itu saja, "dan, bagaimana kaubisa masuk ke sini?" beonya kesal melihat privasinya bisa dimasukin sang Beta dengan mudah.
"Sebagian rumah ini adalah milikku, kenapa harus sulit untuk masuk ke sini?" Xilou menaiki ranjang, mendekati gadis tersebut agar segera beranjak dari kasur. Jemari pria itu menarik selimut yang menutupi kepala bersurai malam, "hei, ayo isi perutmu dulu. Kau belum makan sedari tadi, ini sudah hampir jam sebelas siang."
Bujukan itu membuat Xion Qi menurunkan sedikit selimutnya. Ia pun menatap jam yang terpasang di dinding berwarna moca. "Nanti saja." Kembali jemari itu hendak menutupi wajahnya, namun Xilou menahan selimut itu agar tidak melindungi garis jangkauan matanya.
"Bangun," kata Xilou membalikkan waja Xion agar menatap padanya ketika selimut berhasil ia enyahkan. Gadis itu pun sedikit kaget merasakan telapak hangat menangkup pipinya. Dan entah mengapa mata pria itu semakin tajam jika menatapnya akhir-akhir ini. Membuat denyut jantungnya terpacu dengan cepat, contohnya seperti sekarang.
"Apa tubuhmu kembali dingin?" tanya Xilou pelan, mengusap pipi lembut bak bayi yang dimiliki Xion Qi.
"Hm, tidak," jawab Xion sedikit merasa tenang dengan kehangatan yang menghampiri wajahnya, "aku juga tidak mengerti, biasanya perlu waktu seminggu agar benar-benar pulih dari rasa dingin itu. Tapi entah kenapa...bisa begini."
Bibir Xilou bungkam melihat Xion Qi yang sedang menutup mata seakan meresapi sentuhannya. Bibir mungil itu entah kenapa kembali mencuri perhatian si Beta. Membuat binar hazelnut sedikit berpendar terang, membuat ibu jarinya mengelus garis benda itu pelan. Selembut bulu.
Merasakan jemari pria itu, mendadak mata Xion Qi terbuka cepat. Dengan perasaan yang sedikit gelisah ia bisa melihat mata yang indah itu mulai menatapnya lurus. Seakan menunggu reaksinya. "Hei, masih mau memberitahuku? Pembicaraan antara kau dan Kakekku?"
Xion Melihat tatapan Xilou agak teduh dari biasanya. Dia tidak tahu jika pria ini bisa berekspresi demikian terhadapnya. Hal itu agak membuat perasaan Xion salah tingkah, tidak enak hati.
Xilou yang menyadari gadis ini enggan mengatakannya sedikit mengelus kuat ujung bibir yang bungkam itu. Menyentuhnya agar mau bicara terus terang.
Sebuah gelengan di kepala Xion membuat senyum Xilou miring. Menjadikan sang gadis semakin tidak enak hati karena suasana di antara mereka mendadak kaku. Meski sudah bersahabat dekat, baru kali ini juga Xilou begitu menuntut padanya. Apa karena hal ini berurusan dengan kakek pria itu?
Xilou yang melihat reaksi tidak enak hati itu merebahkan tubuh di samping sang gadis. Membuat tubuh Xion bergeser cepat untuk memberikan ruang di antara mereka. Pria itu memiringkan tubuh sambil menatap ke dalam manik kelam yang merasa bersalah. Tanpa kata jemari Xilou pun meraih kepala bersurai malam agar mendekat padanya.
"Jika dia melakukan hal yang berbahaya. Jangan sungkan untuk bicara..." Napas dihirup kuat, sejenak mata Xilou terpejam mengatur suasana hatinya. Xion pun merasa ada sebuah beban dibawa rekannya. Apalagi melihat sikap Xilou yang terlalu protektif semenjak ia berada di sini.
"Hm." Hanya itu jawaban yang diberikan, Xion merasa tidak mau membantah pria ini lagi. Karena kondisi Xilou selalu terlihat tidak baik jika sudah menyangkut keluarganya. Sikap sang Beta yang terlalu waspada langsung muncul begitu saja. Seakan ada bahaya yang akan mengiringinya jika pria itu lengah.
"Xil, tadi Manager menghubungiku. Kapan kita bisa melakukan pemotretan di sini?"
"Katakan padanya, belum bisa sekarang. Ada yang harus aku urus dulu." Dalam benak Xilou sudah membuat rencananya sendiri. Pulang ke tempat ini mana bisa ia tidak memberikan pengamanan pada Xion Qi yang tidak tahu kondisi sekitarnya. Xilou sendiri sudah meminta tolong pada kelompoknya untuk memantau Xion dalam garis tertentu jika dia tidak ada bersama gadis itu.
"Hei, apa tidak mengapa kaubegini? Biar bagaimanapun orang lain yang melihat akan salah paham. Apalagi calonmu itu," dengus Xion Qi di akhir kalimatnya. Xilou yang menyadari ada nada kekesalan tersenyum geli tanpa sepengetahuan temannya.
"Pertama, tidak akan ada yang berani ke sini. Ke dua, aku sudah mengunci pintu. Ke tiga, bukannya kauterlihat kesal sekali pada Meyle? Tidak seperti kausaja."
"Apa? Siap juga yang begitu? Dan lagi, buat apa kau mengunci pintu segala?" Kesal Xion dengan mata mendelik, takut mereka berpikir yang bukan-bukan tentang mereka.
"Lalu, kauingin aku membukanya? Oke, akan kulakukan." Xilou membuat yang gelagat akan bangun dari kasur, membuat Xion panik karenanya.