EDELWEISS

KucikiNarukichan
Chapter #3

2. Sekuntum bunga

Kegelapan langit malam melingkupi kerajaan Jempati yang sudah mulai ditinggalkan penghuninya. Sisa-sisa perjamuan tadi sudah mulai dibereskan oleh para pelayan yang bekerja dengan gesitnya.

Di keheningan malam ini, Sri Andi memejamkan matanya sambil menikmati embusan angin di kerajaan Jempati yang pernah membuatnya berlari seperti dikejar singa yang kelaparan. Mengingat hal yang lalu, bukan main ia menyesuaikan diri dengan kehidupan rakyat biasa. Ia dan sang bibi begitu membanting tulang untung bertahan hidup.

Alis kelam yang terukir alami mengerut dalam, kembali perasaannya diiris sembilu mengingat kematian sang bibi. Hari-hari itu begitu berat, rasanya ia pun ingin ikut mati saja. Andai kata Sri Andini tidak ingat pesan Ambar Sari kala itu. Dengan senang hati dia mati di tangan ayah angkatnya dulu.

Ketika itu ayah angkatnya sedang melakukan penumpasan pemberontakan di desa yang mereka tinggali. Ketika melihat lambang kerajaan di baju Kian Aditya yang sudah melayangkan senjata padanya juga, tanpa terasa kekuatan itu muncul dengan amarah yang meletup. Sri Andini menjadi ingat kenapa ia harus meninggalkan kerajaan Jempati pada malam itu. Membuat amarah dan dendam bergemuruh menjadi satu.

Semua derita yang ia dan bibinya rasakan karena ulah pemberontak yang ada di sini. Sri Andini menyimpulkan seperti itu meski Ambar Sari tidak pernah membahas kenapa mereka meninggalkan kerajaan Jempati.

"Maafkan aku yang tidak mendengarkan perkataan Ibu..." bisiknya lirih dengan rahang yang terkatuh rapat. Dia sudah mengabaikan permintaan Ambar Sari agar tidak kembali ke kerajaan Jempati lagi.

Karena rasa amarahnya dia mengikuti permintaan ayah angkatnya itu. Semua identitasnya dipalsukan oleh Aditya, kecuali namanya sendiri. Sempat Sri Andini takut ketika Kian Aditya membawanya berkunjung ke istana. Ia takut jika ada yang mengenalinya dan kembali ingin membunuhnya.

Namun ternyata kerajaan Jempati sudah sedikit berubah. Beberapa orang yang dikenalnya sudah pensiun dari masa jabatannya di pemerintahan. Yang ada sekarang hanyalah anak-anak dan cucu para selir kakeknya. Membuat Sri Andini merasakan sedikit kelegaan. Meski terkadang ada saja orang yang ingin mengorek masalah pribadinya.

Yah, tentu saja Kian Anggara yang menjadi dalang agar semua mata berpaling darinya. Perlindungan raja itu bukan main untuknya. Entah apa yang ayah angkatnya itu katakan, yang jelas Anggara yang mengambil alih tanggungjawab atas dirinya sekarang.

Mata kelam Andini mulai lelah karena rasa kantuk yang semenjak tadi ditahannya. Ia pun mulai melangkah pergi meninggalkan benteng istana yang berdiri kokoh untuk menghalau musuh agar segera pergi.

Memikirkan kerajaan Jempati salah satu hal yang bisa membuat Sri Andini keringat dingin. Dia harus bersiap kapanpun untuk melindungi kerajaan ini dengan otak pintarnya itu. Bahkan Anggara selalu melibatkannya untuk mengatur formasi perang. Kepiawaiannya itulah yang membuat orang segan padanya.

Dalam hati yang terus merindukan keluarganya yang sudah tiada. Sri Andini terus menjaga kerajaan Jempati agar tetap utuh saat melihat kepemimpinan Anggara bukan seperti prasangkanya selama ini. Gadis ini sendiri dengan hati-hati menyelidik insiden dahulu untuk mengetahui dalang sesungguhnya. Meski hal itu akan sulit karena Anggara terus memerhatikannya.

Anggara sendiri masih ada hubungan keluarga dengannya jika melihat silsilah pria itu. Kakek Anggara dan Kakek kandungnya sendiri adalah sepupu. Sri Andini tidak tahu kenapa bisa Anggara yang menduduki tahta, bukan anak-anak dari selir kakek sendiri. Yang jelas, mereka semua hanya menduduki beberapa jabatan dalam pemerintahan sekarang.

Sepertinya Anggara tidak mau jika pemerintahan hanya dipenuhi oleh kalangan keturunan raja. Pria ini membuat peraturan yang sempat menjadi pro-kontra karena ulah beraninya itu. Anggara menarik seseorang yang pintar untuk menempati jabatan pemerintahan, meski orang itu dari kalangan rakyat biasa sekali pun.

Contohnya Sri Andini sendiri. Pria itu memberikan jabatan perdana menteri padanya dengan tidak mempedulikan perkataan ibu suri ketiga yang masih hidup. Agar memberikan posisi itu pada anak lelakinya. Anggara malah menempatkan saudaranya itu sebagai penjaga perbatasan kerajaan. Panglima utama dari barisan selatan.

Kerajaan Jempati mempunyai empat panglima di masing-masing barisan. Barisan barat, barisan timur, barisan selatan dan barisan utara. Yang mana kesatuan barisan itu di kepalai jenderal perang yang bernama Irayan. Pria yang memiliki mata tajam hingga dijuluki macannya Jempati.

Sampai tiba di kamarnya Sri Andini merebahkan diri di pembaringannya. Ia mencoba menutup mata dengan berbagai pemikiran untuk esok pagi. Gadis ini begitu awas karena mereka semua adalah orang baru dalam perserikatan dagang. Meski mereka melakukan kerja sama, bukan berarti hal yang licik tidak akan terjadi. Hal demikianlah yang harus ia waspadai. Agar tidak merugi karena sudah bergerak sejauh ini.

Wewangian bunga yang ditaburkan di bara api menemani malamnya yang mulai melayang dalam buaian mimpi. Gadis itu mulai terlelap untuk meninggalkan dunia peliknya yang selalu membuat jemarinya panas dingin jika sudah dalam suatu masalah.

Kedamaian malam ini berlanjut sampai manusia kembali membuka matanya. Membiarkan matahari beristirahat sebelum menyingsing kembali untuk menyinari sang bumi yang akan dibajak kembali oleh manusia.

•••

Sekuntum bunga sudah tentu memiliki daya tariknya masing-masing untuk memikat para mata yang memandang. Keharumannya pastilah bisa memikat kumbang yang memang ingin mencari madu. Karena itulah, begitu matahari menampakkan sinarnya di pagi hari, para tuan putri sudah mulai merias diri untuk hari ini.

Bunga di kerajaan Jempati pun tidak mau kalah menyebarkan harum wanginya dari kerajaan tetangga. Para gadis bangsawan mulai berdatangan untuk jamuan makan pagi yang disediakan di aula yang berbeda dari tadi malam.

"Kita beda tempat dari para raja dan pangeran, yah?" Suara itu terdengar kecewa, dia adalah putri bangsawan Rasya Genoa dari kerajaan Mayash. Gadis yang berani mengutarakan pemikirannya secara gamblang pada Sri Andini tadi malam.

"Kenapa kau menginginkan hal itu? Sudah cukup, jangan berulah lagi," kata Pinasy melihat temannya yang kecewa tidak mendapatkan topik perbincangan di pagi hari ini.

Rasya yang mendengar hal itu hanya cemberut. Pinasy yang melihatnya begitu hanya menggelengkan kepalanya kecil. Mereka berdua saling menyapa para tuan putri yang mulai hadir memenuhi jamuan pagi ini. Senyum dan etika dipasang sedemikian mungkin untuk memerlihatkan siapa yang lebih unggul di antar mereka semua.

"Selamat pagi, saya harap tidur para tuan putri nyenyak." Suara asing menyapa di depan pintu. Sontak mereka menegakkan tubuh pada gadis yang berpengaruh pada kerajaan ini.

Sri Andi yang melihat keadaan yang agak tegang memberikan senyum kecilnya, dengan tenang ia melangkah sambil diiringi barisan para pelayan di belakang yang mana sudah membawa hidangan di tangan mereka. Seorang gadis pun ikut berjalan di sampingnya dengan senyum percaya diri. Menatap dengan dagu sedikit terangkat.

"Selamat pagi, Perdana Menteri, tidur kami nyenyak dengan aroma bunga di kamar kami." Putri Wang Ling menjawab diikuti anggukkan setuju dari putri lainnya. Mereka memang menikmati wewangian yang khas karena diracik dari bunga tradisional kerajaan Jempati sendiri.

"Saya senang mendengarnya. Saya harap sarapan pagi ini pun cocok dengan para tuan putri." Meski memiliki paras yang tidak banyak senyumnya, Sri Andini memiliki daya tariknya sendiri agar lawan mainnya memerhatikan ucapannya.

Gadis pintar itu lebih memainkan sorot matanya agar lawan bicaranya peduli, nyakin padanya. Seperti diancam agar mematuhi tanpa keributan.

"Anda tidak ikut bergabung dengan kami?" tanya Wang Qiqi melihat gelagat Sri Andini yang hendak beranjak pergi. Membuat para mata kembali berpusat padanya.

"Maaf, kali ini saya tidak bisa menemani. Tuan Putri Anggraini yang akan menemani kalian."

Seorang gadis tersenyum manis berdiri di samping Sri Andini. Gadis berkulit sawo matang itu sedari tadi juga mengundang tanya bagi yang memandang. Namun mereka urung melihat si Perdana Menteri terlihat menghormatinya, mereka menunggu Sri Andini saja untuk mengenal siapa gerangan gadis itu.

"Saya putri Anggraini, salam kenal."

Sri Andini menipiskan senyum di bibirnya. Ia mengangguk kecil saat gadis itu melewatinya untuk bergabung dengan para putri bangsawan lainnya. Wag Qiqi yang semenjak tadi memerhatikan gelagat sang tuan putri hanya berwajah datar. Meski samar, ia tahu Anggraini menguarkan persaingan pada temannya tersebut. Anak dari selir kedua mendiang raja terdahulu itu sepertinya tidak suka pada Sri Andini.

Sang Perdana Menteri pamit pergi untuk memantau ke tempat para raja dan pangeran. Ia ingin memastikan jika di sana bekerja sesuai arahannya. Begitu sampai di tempat tujuan, para pelayan memberikan hormat padanya dengan perasaan yang sedikit takut.

"Hormat kami, Perdana Menteri," kata kepala pelayan yang diikuti anak buahnya yang lain.

"Di terima," jawab Sri Andini melirik sekitarnya, "apa semua makanan sudah dihidangkan sesuai dengan yang saya katakan tempo hari?"

"Semua sudah saya siapkan dengan petunjuk Anda..." ujar pria itu sedikit gusar, "tapi, Raja Zabardat kondisi perutnya sedang tidak enak semenjak kemarin kata Yang Mulia Jempati."

Sri Andini diam, ia tidak diberitahukan akan hal ini oleh Anggara. Apa pria itu lupa mengatakannya karena begitu sibuk?

"Apa Yang Mulia Jempati mengatakan alasannya?" tanya Andini dengan mimik wajah yang mulai serius.

"Tidak, hanya saja tadi Yang Mulia Zabardat ke sini. Dan menanyakan suatu hal yang bisa membuatnya nafsu untuk makan." Kepala pelayan itu meremas jemarinya karena takut sudah tidak bisa melayani permintaan raja Zabardat itu. Dia takut sang Perdana Menteri akan menghukumnya dengan hal ini.

Sri Andini mengambil napas, dia hening sejenak sebelum memerintahkan seorang pelayan. "Carikan tiga buah mengkudu, dan cepat bawa kembali ke sini." Sri Andini memberikan perintah. Dengan tergesa-gesa pelayan yang di pandang oleh mata hitam itu untuk segera ke luar mencari buah tersebut.

"Ambilkan lesung dan penumbuknya." Seorang pelayan kembali bergegas pergi.

"Kepala pelayan, apa kita masih memiliki madu?" tanya Sri Andini dengan intonasi yang tenang.

"Masih, Perdana Menteri," jawabnya dengan kepala yang masih menunduk.

Lihat selengkapnya