Edge of the Jungle

JAI
Chapter #1

1

Matahari berada di pucuk barat. Menguning awan yang aku tatap di pelupuk, lalu bergerak sedikit demi sedikit seiring pergerakan angin. Aku sedikit lebih tenang, hijau pepohonan begitu terasa di tepian kampus. Masih aku hisap tembakau yang menyapu pikiranku saat ini, lalu berterbangan seperti gumpalan yang keluar melalui ujung bibir. Ia tidak berada di sini, berharap sekali ia yang mengingatkan jika aku akan terlambat pulang ke rumah. Yang pasti, aku tengah berkelabu semenjak hari itu.

Setiap orang berhak pergi dan datang sesuka hati. Hati yang memiliki keinginan selalu punya tujuan, tidak ada yang bisa membendung itu, termasuk dirinya. Ia tidak bersalah memilih orang yang lebih baik, aku saja yang terlambat untuk berkembang lebih jauh. Semua yang aku ucapkan dahulu hanyalah semilir angin laut lewat yang tidak sengaja menerpa wajahnya, lalu ia usap untuk menerima angin yang baru. Aku terbuang, lalu tenggelam di tepian pantai yang menyapuku hingga tergulung ke dalam palung.

Ia memintaku untuk datang? Yang benar saja. Aku tidak akan datang ke upacara kekalahanku sendiri. Hanya orang bodoh yang ingin menerima undangan itu. Bukankah kehadiranku selama ini tidaklah berarti apa-apa dan tidak akan merubah apa-apa jika senyum palsuku bersemayam di sana.

Aku menatap ujung mercusuar yang mulai hidup di bukit itu. Ketuk di jam tangan menandakan ia lebih dahulu menyala dari kebiasaan petugasnya. Tidak ada tanda-tanda badai, bahkan cahaya mentari masih menyusur di permukaan bendungan kampus dengan riak yang tenang. Sunyi itu pecah tatkala bunyi peluit dari penjaga bendungan pecah di udara hingga membuartku melihat ke arah utara.

Seseorang tengah ketahuan memancing di hilir bendungan. Ia segera menarik joran-joran pancing itu segera. Tebakanku benar, ia tidak akan sempat melakukan itu hingga petugas lebih dulu sampai untuk menahan dirinya. Aku terkejut, pemancing itu ternyata seorang perempuan, terdengar dari pekikan suaranya yang meminta untuk dilepaskan. Tarikan tembakau di ujung bibirku semakin panjang tatkala satu pukulan telak mengarah ke wajah petugas. Bukan tanpa alasan, petugas itu mematahkan salah satu joran pancing milik wanita itu.

Ketenanganku terganggu di tengah kecamuk pikiran yang mengelabuhiku, ditambah dengan pemandangan yang semakin seru. Aku berlari ke arah sana karena wanita itu mulai mengamuk dengan kedua tangannya. Napasku terengah-engah memutari setengah bendungan tersebut. Sesampainya di sana, aku segera memisahkan petugas dari cengkraman wanita yang sedang menggila.

"Hei, apa yang kau pikirkan?!"

Mataku geram menatapnya yang bersumpah serapah kecil di bibirnya. Ia terlihat tidak memiliki rasa bersalah mengenai apa yang ia lakukan saat ini.

Wanita itu menjauh, lalu menarik joran pancingnya dengan titik air mata yang jatuh.

"Petugas sialan itu mematahkan pancinganku!"

"Kau tahu bendungan ini bukan untuk tempat memancing? Pihak kampus bisa bertindak tegas!" Aku melempar joran patahnya itu ke dalam waduk karena sudah tidak bisa lagi digunakan.

Ia datang mendatangiku. "Kau siapa? Jangan menasehatiku, sialan!"

"Sialan?" tanyaku dengan kesal.

Salah satu petugas penjaga sedang menjarah tas miliknya. Ia memerika dompet dan turut menemukan kartu identitas dari wanita itu.

"Kami akan mengadukan kamu ke pihak kampus." Ia menarik tangan Rhea.

"Kadukan saja, aku sudah selesai dengan kampus itu!" Gadis itu menahan tangannya. "Lepaskan tanganku."

Petugas melemparkan tas ke hadapan wanita itu. "Ambil KTP-mu setelah membayar denda. Oke?"

"What the f!" Ia tidak selesai dengan kalimatnya. "Kalian mendenda aku hanya untuk memancing tanpa seekor pun ikan yang aku dapat?! Kapitalis macam apa kalian?!"

Berniat untuk membantu, aku mengangkat tas itu padanya. Sembari berbisik aku mengucap sesuatu, "lebih baik beri mereka uang dan urusan pun selesai. Jangan pernah bermain dengan birokrasi kampus ini. Kau makin dipersulit."

"I don't have fucking money."

Aku menghela napas, lalu berbalik ke arah dua orang petugas penjaga sembari mengeluarkan selembar uang warna merah. "Berikan KTP-nya. Jangan buat pihak kampus tahu. Bukankah kalian juga akan kena masalah nanti kalau tahu penjagaannya tidak ketat?"

Mereka saling melirik satu sama lain di hadapan uang yang aku berikan. Sesaat kemudian, tanpa ragu salah satu dari mereka mengambil uang tersebut dan memberikan kartu identas. Aku sempat membaca namanya sekilas, lalu memanggil wanita itu.

"Rhea, ini KTP-mu. Sekarang pulanglah ...."

Ia menyambut tanganku. "Terima kasih."

Sepatah kata itu terdengar lemah dengan mata yang memerah. Tangannya tampak mencengkram kuat joran pancing yang patah. Aku tidak mengerti wanita macam apa yang menangis karena joran pancing yang patah dikarenakan itu benda-benda mainan para pria. Aku segera meninggalkannya, sedangkan wanita itu sedang memberesi barang-barangnya. Namun, tatkala aku sudah di seberang, ia memanggil diriku.

"Hei!" teriaknya. "Siapa namamu?"

"Kau tidak perlu tahu."

Lihat selengkapnya