Aku masih terbayang mata cokelat gadis hutan yang kemarin aku temui. Ketidaksengajaan membawa kami untuk saling kenal. Bukan karena ia seorang perempuan, melainkan karakter misterius yang tidak pernah ditemui dari sepanjang hidupku. Ia membawa kepada satu situasi yang membuatku bertanya-tanya, siapa dirinya? Bagaimana ia bisa tinggal di kawasan kampus tanpa bisa diketahui oleh orang banyak?
Dentuman bola basket menggema di telinga. Aku berlari untuk menyambut bola dari teman dekatku. Satu momen yang tepat aku berhasil melakukan tembakan bola ke dalam ring. Hal tersebut mengakhiri permainan hari ini, kami beranjak dengan kemenangan, sementara tim sebelah menunduk pertanda mengakui kekalahan.
Namanya Abdias Ferdinand, satu-satunya teman sekelasku yang masih tertinggal di semester tua ini. Ia sudah selesai dengan masa kuliah semenjak dua semester yang lalu, tetapi ia tetap saja datang ke kosan atau pun menemani diriku ke kampus untuk bimbingan dengan dosen pembimbing. Hanya kami berdua yang tersisa yang selalu bersama dari teman lelaki satu kelas, sementara yang lain sudah tenggelam di kesibukan duniawi. Meskipun ia sibuk dengan bisnis distro rintisannya, ia tetap berbaik hati untuk terus menemaniku.
"Aku nanti datang ke kosanmu. Kau sedang butuh apa?" Ia melepaskan kacamata hitamnya.
"Aku baik-baik saja, Abdias. Jaga saja tokomu, aku tidak perlu ditemani lagi."
Ia tertawa sembari melemparkan botol air mineral kosong. "Aku khawatir kau akan mabuk berat lagi dan berjalan di koridor kos tengah malam. Jangan sampai teman samping kosmu menelponku lagi."
"Jika kau mau datang, bawakan aku rokok. Uangku sudah menipis di akhir bulan. Orangtuaku mulai membatasi uang biar aku cepat tamat," balasku.
"Tenang ... nanti aku bawakan." Ia memberikan jempolnya. "Kau setelah ini mau ke mana?"
"Seperti biasa ...." Aku mengangkat kedua alisku.
Seharusnya ia sudah tahu ke mana aku selalu berkunjung. Cerita ini berkali-kali aku sebutkan padanya.
"Jangan pernah ke sana lagi. Sudahlah ... Yuri sudah berakhir, kau tidak perlu mengingat dia lagi dengan datang ke tempat itu."
"Aku datang ke tempat itu sebelum aku membawakan sampah di sana," pungkasku.
Abdias tersenyum, lalu ia melambai kepada adik-adik kelas yang sudah memberi kesempatan kami untuk bermain basket bersama. Kami berpisah di parkiran lapangan basket, lalu berpisah tatkala ia mulai memajukan mobil.
Angin hutan kampus menghempas wajahku. Masih tercium bau laut yang berjarak kira-kira satu kilometer dari sini. Segala senyum yang aku lemparkan sepanjang permainan, kini luntur oleh memori yang selalu berkutat di pikiran bawah sadarku. Sedang apa ia di sana? Apakah ia selalu tertawa sebagaimana tatkala kami masih bersama? Kenangan itu terlalu mahal untuk dirinya yang pergi hanya dengan sepatah kata, tanpa penjelasan yang menjamah pemahamanku.
Rasa penasaran pernah menjadi suka, rasa suka berjalan menuju cinta, cinta yang berperasaan ia bawa diriku untuk merasakan kenyamanan. Sepanjang kami bersama, kenyaman itu semakin kuat dan semakin kuat saja. Ia berhasil membuatku bertahan dengan kehidupan yang monoton ini hanya dengan mengatakan jika diriku kuat. Namun, ia telah berbohong, aku tidak siap tatlala ia meninggalkanku begitu saja. Ia telah berhasil mematahkan semua harapanku, lalu merubahnya menjadi benci.
"Kau Tidak Perlu Tahu!"
Aku sontak berhenti tatkala suara nyaring perempuan menyebutku dengan julukan tersebut. Mataku menatapnya dari spion, lalu ia semakin cepat mendorong gerobak berisikan tumpukan bambu batangan.
"Rhea?" Aku turun dari motor, lalu menatapnya dengan aneh. Ia sendirian mendorong gerobak itu di kawasan belakang kampus. "What the hell are you doing?"
Ia mengatur napas sebentar, lalu bertegak pinggang dengan keringat yang menyucur di dahi. "Aku membeli bambu selundupan Ketua BEM Fakultas Teknik. Ini bekas proyek mereka yang tersisa."
"Simpang jalan rumahmu masih jauh dari sini. Setidaknya kau pakai mobil pick up milikmu itu," saranku.