Edge of the Jungle

JAI
Chapter #3

3

Aku berbicara mengenai seorang pria yang jiwanya mati berbulan-bulan lalu, namun tubuhnya masih melangkah untuk menjauh dari bayang yang terus mengejarnya selayaknya hantu. Tidak ada yang lebih nikmat daripada kesendirian yang ia rengkuh dalam sunyi. Semua ketertarikan terhadap suatu hal telah hilang secara perlahan semenjak wanita itu pergi. Sesuatu telah pergi dengan meninggalkan jejak-jejak yang berusaha keras untuk ia timbun.

Manusia belajar untuk bertahan dari apa yang ia takuti. Sepanjang sejarah manusia belajar menaklukkan alam yang buas, membuatnya jinak agar mampu untuk dikendalikan. Keterbatasan telah membuat manusia berpikir untuk menciptakan teknologi yang mempermudahkannya agar jauh dari hal yang ditakuti. Manusia tumbuh menjadi kuat, tetapi ia tetap saja tidak akan mampu mengatasi kesendirian dan ketakutan untuk ditinggali. Rasa ketertinggalan dan kesendirian akan selalu ada sebagai konsekuensi eksistensi dari manusia.

Lalu dari mana eksistensi dari diriku sendiri? Sebagaimana mayat hidup yang terkatung oleh kecemasan akan diri sendiri dan rindu-rindu yang menggerogoti tubuhku hingga saat ini. Seseorang telah jahat menitipkan rasa padaku, lalu tidak pernah membawanya kembali agar aku tidak menderita. Sebegitu ringannya ia tersenyum dikala itu berharapa aku akan mengikuti alur bibirnya yang sama, hanya saja kata-kata terakhir darinya begitu pedih bagiku.

Hari telah tertutup oleh gelap semenjak dua jam yang lalu. Aku mengirimkan pesan kepada Abdias agar ia tidak datang ke tempat tinggalku. Enggan aku menyebutkan alasannya karena aku akan mengunjungi Rhea sebagaimana janji hari kemarin. Aku tidak mengetahui apakah wanita itu sedang di rumah, tapi aku yakin ia orang yang menepati janji.

Kendaraanku tiba lima menit kemudian di muka rumah kayu tingkat dua itu. Gelap sekali tanpa penerangan dari listrik sedikit pun. Masih terdapat cahaya dari lampu minyak dan lilin di beberapa titik. Aku memanggil wanita itu, tetapi malah James yang menjawab. Ia menggonggong dari kejauhan hingga aku segera menghidupkan kendaraan.

"Hey, lihatlah James. Dia mulai mengenalimu," ujar Rhea yang sedang memegang sepucuk senter dari kegelapan.

James terlihat bersahabat. Ia berputar menunggu aku untuk menyentuhnya.

"Rhea, segera jauhkan James. Aku tidak ingin ia menyentuhku."

Rhea tertawa kecil. Suara siulnya membuat James mendekati wanita itu.

"Sekarang malah kau yang dingin kepada James. Sudah aku bilang, James akan mudah mengenali orang-orang yang baik denganku." Ia terlihat mengelus kepala James. "James, sekarang berkelilinglah. Jauhkan monyet-monyet sialan itu dari kebun."

Aku tidak tahu apakah James mengerti perkataan manusia, yang aku lihat sekarang ialah James berlari menjauh dari kami berdua.

"So, apa yang akan kita lakukan?"

"Apa kau bisa berenang?" tanya Rhea.

"Bisa, aku terbiasa berenang di Sungai ketika masih di desa. Selagi tidak kau pinta aku berenang di laut, aku berani," balasku.

"Baiklah ... kita akan menyelam ke bendungan kampus. Aku punya baju ganti milik dari ayahku dulu, mungkin muat untukmu."

Bendungan kampus? Aku tidak pernah orang yang berenang atau bahkan menyelam di sana. Setahuku berkativitas di permukaan bendungan merupakan hal terlarang.

Rhea memintaku untuk mengikutinya di belakang. Kami melewati jalan setapak yang berujung ke tepian bendungan. Dengan cahaya redup dari senter, kami tiba di bendungan tersebut dengan seorang pria yang sedang duduk sembari menikmati sebatang rokok. Suasana yang agak gelap membuatku tidak begitu mengenali wajahnya.

"Evan, kenalkan ini Mahatma. Mahatma, ini temanku namanya Evan. Dia anak dari pengrajin rotan di kota. Dia yang selalu mengantarkan karya-karyaku ke pemesan."

Pria bertubuh tinggi dan tegap itu menjulurkan tangannya.

Lihat selengkapnya