Edge of the Jungle

JAI
Chapter #4

4

Senyum kami jatuh di antara cahaya rembulan yang menyelinap di antara dedaunan hutan. Peluh dari penat dan dinginnya malam pecah di hadapan api bekas panggangan ikan. Kami terduduk berdua di atas papan sembari menikmati wine murah milik Rhea. Wajahnya bersandar menadah ke langit, sedikit terlihat memerah oleh candaan Abdias yang aku ulang padanya. Sesuatu yang tidak berefek padaku, ternyata menyematkan kelucuan baginya. Sementara Evan, ia telah tumbang dan tidur di atas pondok yang belum selesai itu.

Aku memandangi bintik wajah di sekitar hidung tirusnya. Dari redup cahaya api, aku tahu dirinya memiliki mata cokelat, sesuatu yang aku sadari saat kami pertama kali bertemu. Ia mencoba saranku untuk mengikat rambutnya yang panjang bergelombang itu, hanya saja ia mengatakan tidak terbiasa untuk mengikat rambut. Tatkala ia aku mengatakan jika aku terbiasa mengepang rambut adikku sejak kecil, ia tertarik untuk mencobanya.

"Tidak ada yang mengajari aku untuk mengepang rambut. Tapi, aku menyukai kepangan yang kau buat di rambutku." Ia menggoyang-goyangkan rambutnya sedikit. "Kau sepertinya playboy. Kau seperti biasa untuk menyentuh rambut wanita."

"Oh tidak, aku hanya beruntung bisa pacaran dengan Yuri. Ia pacar pertama dalam hidupku."

Aku masih ingat lambaian rambut Yuri tatkala ia berusaha mengepang rambutnya pada saat itu. Wangi harum mandi masih melekat hingga ia aku antar kembali pulang.

"Kau berbohong, aku sudah tahu banyak tipe pria. Kau itu playboy pastinya," sindirnya padaku. "Jangan terlalu menyita waktu untuk memikirkan orang-orang yang meninggalkanmu. Sendiri itu lebih baik daripada kau ditinggalkan."

Napasku terhela berat. Luka itu semakin berdenyut sepanjang hari, berharap ada obat yang akan menyembuhkannya, tetapi aku temui hanyalah luka yang semakin memanjang dimakan oleh waktu.

"Orang yang pernah membuatku sadar jika aku bisa menaklukkan dunia, kini malah berbalik menyadarkanku jika dunia terlalu mudah untuk menaklukkan orang-orang yang lemah." Aku menoleh padanya. "Kau pernah punya pacar?"

"Haha aku? Pria mana yang mau mendekati wanita yang tinggal di tengah hutan? Masa-masa itu juga sudah lewat. Sewaktu kuliah, aku pernah mendapatkan beberapa pria yang mendekatiku, tetapi aku rasa mereka belum cukup bisa untuk mengimbangi."

"Mengimbangi? Aku tidak mengerti," sanggahku.

"Aku tidak memikirkan apakah pria itu tampan atau kaya, aku lebih objektif dari itu. Aku melihat sisi yang lebih potensial dari seorang pria. Mereka seperti prototipe robot masa depan, apakah dia bisa berguna di masa depan atau tidak."

"Penjelasan yang aneh, kau terlalu banyak nonton film fiksi fantasi," balasku.

Rhea melipat tangannya. Ia sempat berpikir sejenak, lalu tersenyum padaku.

"Haha bukan ... ini sebuah insting. Kau butuh pria yang butuh melindungimu, mempunyai pemikiran yang lebih maju, dan bisa menjadi wadah bagi anak-anakku untuk berkembang. Hal-hal tersebut tidak diturunkan dari ketampanan dan kekayaaan," balasnya.

Api bergerak ke kanan berkat angin yang menyapa. Kami sedikit menjarak karena sebagian asapnya mulai menyerbak ke tubuh kami.

"Lebih realistis aku rasa. Wanita memang butuh orang yang lebih dominan dari dirinya sendiri."

"Aku membenci dominasi pria, yang aku harapkan ialah pria yang menjalankan perannya sendiri. Aku akan menjalankan peranku sendiri. Dominasi pria atau pun wanita tidak baik untuk keseimbangan," jelasnya.

Aku tersenyum mendengar kalimat bijaknya mengenai peran gender. Isu-isu tersebut masih terus dibahas karena terbenturnya ideologi feminisme dan konservatif. "Aku seperti bicara dengan seorang pemikir. Apa kau selalu seperti ini?"

"Tidak ... rasanya ini sudah hal yang biasa. Apa kau yang terlalu bodoh? Hahaha ..."

Lihat selengkapnya