Edge of the Jungle

JAI
Chapter #5

5

Ia hanyalah masa lalu. Benar apa yang dikatakan oleh Rhea, hantu masa lalu itu selalu menyeruak dalam renung malam yang aku lakukan, bahkan tanpa diundang untuk datang. Damai seharusnya sunyi, ternyata bersuara atas luka masa lalu yang enggan untuk pergi. Kehadirannya seperti anomali, antara nyata dan tidak nyata. Hanya saja tatkala aku tampar diriku sendiri untuk menghilangkannya, semakin kuat dirinya dalam hadir. Aku akan menghapusnya, diriku bertekad untuk itu.

Mercusuar pernah menjadi objek paling menarik di antara kami berdua. Cahaya mercusuar akan selalu menarik ketika mentari barat mulai condong untuk tenggelam, yaitu tatkala pijar cahaya jingga kemerahan membelai awan gemawan di langit. Burung-burung yang pulang pun berkicau di antara hembusan angin darat. Kami bersadar pada kursi tribun sembari bergenggaman tangan. Lembut rambutnya bersadar pada pundakku, lalu ia mulai bercerita tentang hari ini.

Aku menyampaikan jika aku ingin sekali untuk pergi bersama dengannya ke sana, lalu duduk di atas puncak mercusuar sembari melihat ombak senja yang bergulung. Sempat aku bercanda untuk mencuri lampu mercusuar yang besar itu. Ia selalu memukul pundakku ketika aku selesai membercandainya. Namun, semua kenangan itu tidak akan terulang kembali. Hanya akan menjadi bayang-bayang tak kasat mata selayaknya debu kelabu yang berpintas di dalam mimpi.

Senja menghampiri tepat di pukul setengah enam. Mercusuar sama sekali tidak hidup sebagaimana beberapa hari ini. Rasa penasaranku pun tidak terpenuhi hanya dari bertanya-tanay di dalam hati. Senja ini aku menyambangi kediaman Rhea dan memintanya untuk ikut menuju mercusuar.

"Apa kau lihat aku sedang membuat pondok?" tanya Rhea. Peluhnya bercucuran pada dahi. Sport bra yang ia kenakan pun terlihat basah. "Kalau kau mau ke sana, pergi saja sendiri. Kau bisa lewat jalan setapak hutan ini."

"Oh ya? Ada jalan menuju ke sana?" tanyaku.

"Kata anak Mapala kampus begitu. Itu ada jalan ...." Ia menunjuk jalan setapak. "Ini jalan menuju danau kecil, nanti akan ada dua cabang jalan. Ke kiri menuju ke tepian pantai, ke kanan menuju rawa. Nah ... katanya ada jalan yang sudah ditutup aksesnya, itulah jalan menuju mercusuar. Kau bisa telusuri jalan ke sana."

Lebatnya hutan dan seramnya hewan yang tidak dikenal membuat nyaliku ciut. Aku tidak yakin bisa melewati rimba seperti itu seorang diri.

"Aku tidak segila itu. Bisa-bisa aku ditangkap oleh hewan hutan di tengah jalan." Aku menggoyang pondoknya. Hal itu membuat Rhea kesal dan memukul tanganku dengan palu.

"Kalau kau tidak berani, ya sudah ... lewat pangkalan militer laut saja. Kau mungkin butuh izin untuk masuk." Ia kembali memukul palunya pada kayu beberapa kali, lalu menyeka keringat di dahinya.

"Izin? Aku kira itu tidak masuk kawasan pangkalan militer."

Ia kembali menatapku. "Entahlah ... aku juga tidak tahu." Ia mendorongku untuk menjauh. "Sudah sana ... kejarlah mercusuar itu sebelum gelap. Aku melihatmu nanti dari kejauhan."

"Nanti malam mungkin aku akan ke sini," balasku.

"Datang saja. Kalau James menggogong, itu pertanda kau sudah datang."

Tali tas aku kencangkan. Langkahku kini punya satu tujuan.

"Oke ... aku pergi dulu .... Aku akan lewat pangkalan militer saja."

Pangakalan militer cukup jauh dari kampus karena harus memutari kawasan hijau tepi laut ini. Aku melewati jalan belakang yang sepi dan hanya diisi oleh orang-orang pacaran di tepi hutan, biasanya terdapat tempat duduk kecil untuk bersantai. Sekitar lima belas menit melewati jalanan sepi tepian kota, aku sampai di sekitaran pangkalan militer laut.

Aku sama sekali buta dengan wilayah ini dan bertanya-tanya ke warga sekitar akses menuju mercusuar. Benar adanya jika mercusuar tersebut harus melewati gerbang militer, hanya saja aku tidak mempunyai izin khusus untuk memasukinya. Namun, aku punya celah untuk tetap bisa pergi ke sana. Warga mengatakan jika terdapat jalan setapak kecil bertanah yang langsung menuju ke tepian laut. Hanya kendaraan bermotor yang bisa masuk ke jalan setapak dengan hutan di kiri dan kanannya itu.

Jalanan becek dan penuh dengan dedaunan kering aku masuki tanpa ragu. Yang aku temui hanyalah jalanan berliku tanpa ujung. Pepohonan lebat melindungiku dari cahaya senja yang lembut dan beberapa primata yang menyaksikan seorang manusia sedang menjamah kawasannya. Aku turut menemukan jalan bercabang. Namun, aku tetap memilih jalan yang mengarah ke barat, tepat di mana mercusuar berada. Pilihanku tepat, mercusuar itu semakin dekat aku tatap. Hingga pada akhirnya aku berada di tepian pagar mercusuar yang bergembok.

Dilarang masuk tanpa izin, tulisan warna merah dengan tanda peringatan itu sudah memudar. Aku memutarkan tubuhku, aku berada di tepian tebing karang yang langsung mengarah ke laut yang garang. Tepat di belakangku merupakan hutan lebat. Posisi yang lebih tinggi membuatku mampu melihat gedung-gedung kampus dari kejauhan, pantas saja aku bisa melihat mercusuar ini dari sana. Begitu tenang yang aku rasakan, sunyi yang berteman dengan suara hutan telah menghanyutkanku untuk sementara.

Aku tidak mengindahkan peringatan itu, tetap saja aku panjati selayaknya seorang siswa sekolah cabut di tengah hari. Lalu, aku menjamah sepetak tanah sekitaran mercusuar yang berdiri di atas tepian karang. Tidak aku temukan siapa-siapa, kecuali burung camar yang bertengger di atas mercusuar.

Lihat selengkapnya