Apa arti dari kesendirian? Apa kesendirian hanya berartikan sebatang diri yang melangkah ke alun-alun kehidupan, lalu bergerak pelan untuk mencapai tujuan? Kesendirian itu merupakan tragedi yang berawal dari keterpaksaan, tidak ada manusia yang benar-benar ingin sendiri. Mereka hanya berada di situasi yang tidak diuntungkan dan memilih kesendirian sebagai jalan hidup yang abadi.
Bapak tua bernama Victor yang aku temukan di mercusuar itu, ia benar-benar sendiri di jurang tepi karang dengan hanya membangun rumah kayu kecil yang langsung mengarah ke tepian pantai. Meskipun aku belum sempat ke sana, tetapi aku sudah bisa membayangkan kesehariannya di sana. Tidak ada yang mampu mengganggunya kecuali badai laut itu sendiri. Jalan yang menurutku tidak beruntung dalam menghadapi hari tua.
Akankah aku mampu jika berada di posisnya? Aku hanya bertanya-tanya tanpa jawaban yang pasti.
Siang hari ini masih dengan mentari yang lurus tegak seperti tiang. Beruntung terik cahayanya terhalang oleh lebatnya pepohan hutan. Aku temui Rhea sedang memberi makan para kera yang bergelantungan pada ban-ban di atas pohon. Kera-kera tersebut terlatih untuk menangkap lemparan buah pisang milik Rhea. Wanita itu tersenyum padaku, meskipun peluh bercucuran di atas dahinya, tetapi ia masih tetap mempertahankan wajah riangnya tersebut.
"Jangan bicara apa pun karena monyet-monyet ini akan kabur. Aku tidak mau mereka malah memakan tanaman tomatku." Ia menahan mulutku dengan pisang.
"Kau ini gila, kera-kera itu akan tetap memakan tomat-tomatmu, meskipun kau sudah menyogoknya dengan pisang. Mereka itu binatang yang tidak berakal," sanggahku.
"Manusia sejatinya juga binatang, asal kau tahu," balasnya sembari bertegak pinggang.
"Tapi mereka tahu cara berterima kasih."
Rhea diam sejenak setelah pisang terakhir ia lempar.
"Alam juga tahu cara berterima kasih. Hormati mereka, maka alam akan memberikanmu lebih. Aku sudah bertahun-tahun melakukan ini sejak kecil. Ibuku yang mengajarkannya."
"Baiklah, wanita hutan, kau pemegang kawasan ini," balasku.
"Ikutlah denganku, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Letakkan saja skripsi bodohmu yang belum ter-acc itu di dalam rumah. Apa yang aku tunjukkan kali ini lebih dari skripsimu itu."
Sebelah alisku naik akibat kalimat itu.
"Berhentilah merendahkan skripsiku ini."
"Skripsi itu tidak seribet itu jika kau serius, Kawan."
Setelah sempat mencuci wajah, Rhea memintaku untuk masuk ke jalan setapak hutan yang sedikit menurun. Ia tidak menjawab pertanyaanku mengenai ke mana kami akan pergi, malah memintaku untuk menunggu saja hingga sampai di lokasi. Sesampainya pada lembah antara dua bukit, kami melewati dua cabang jalan. Rhea berkata jika ke kiri merupakan mengarah ke tepian pantai, sedangkan ke kanan jalan untuk menaiki bukit yang ada di hadapannya.
Kami terus berbelok pada jalan yang mendaki hingga sampai lagi di persimpangan jalan. Terdapat jalan ke kanan yang di palang oleh semak dan kayu melintang. Aku baru tahu jika jalan setapak itu mengarah ke mercusuar, meskipun harus berjalan sekitar dua kilometer lagi. Rhea memintaku untuk terus mengikuti jalan ke kiri dengan medan menanjak. Tanpa memintaku untuk beristirahat sebentar, ia mencambukku dengan lemparan batu untuk jangan mengeluh.
Telingaku mendengar suara deru hantaman ombak dan bau laut yang khas. Benar adanya, aku melihat hamparan pantai ketika berada di pertengahan bukit ini. Aku sempat berdiri, hingga kembali diteriaki oleh Rhea di depan. Kaki terus mendaki bukit ini dengan jalan setapak yang mengitari bukit secara spiral. Ketika hampir sampai di bukit, bangunan tinggi kampus terlihat dengan jelas.
Rhea berteriak keras ketika sampai di puncak bukit. Aku bergeming sesaat tatkala angin kencang menerpa tatapan kami berdua. Puncak bukit ini sungguh menakjubkan. Hamparan laut yang luas dan garis pantai warna putih melintang di bawah sana. Bentuk kota yang aku tinggali kini mampu aku jangkau dengan mata sepenuhnya. Rhea pun melebarkan tangannya ketika berdiri di atas batu besar.