Tepian barat kota menyimpan pemandangan kota yang memanjakan mata. Terdapat garis pantai warna putih dan perbukitan hijau yang tidak satu pun orang mampu untuk melewatkannya. Jingga cahaya mentari senja begitu kontras membuat mata untuk terus menatap. Tatkala memejamkan mata, akan terdengar deru ombak di atas pasir dan gemericik air yang menyucur dari tepian karang. Angin pun membawa wewangian buih laut sebagai bentuk renung sesaat menyadari waktu telah berlalu dengan cepat.
Sayang sekali, kawasan tersebut masuk dalam kepemilikan lahan yayasan kampus. Ia akan menjual tempat tersebut kepada pengembang untuk dijadikan resort wisata. Makna natural akan tercoreng oleh nilai-nilai ekonomis yang semata-mata digunakan untuk keuntungan sepihak. Padahal, kawasan hijau barat bagian kampus tersebut sering dijadikan tempat penelitian bagi mahasiswa kampus. Ada banyak eksistensi flora dan fauna yang masih nyaman hidup di sana.
Hari terus bergulir sebagaimana mestinya. Aku terus berusaha mengimbangi waktu yang bergerak maju, tanpa memberikan sedikit pun celah bagiku untuk bersantai. Diri terus dikejar oleh umur, sedangkan dunia enggan menungguku yang masih berproses. Aku senang skripsiku mulai menampakkan hasilnya. Tanda tangan demi tanda tangan dosen mulai kudapatkan. Langkahku mulai terasa lega karena sedikit lagi aku akan berada sama seperti mereka.
Abdias terlihat duduk di meja depan pintu loby. Ia merokok sendirian tanpa tujuan, aku sama sekali tidak memberitahukannya jika aku akan datang ke kampus hari ini. Seharusnya ia sedang sibuk mengurus bisnisnya daripada menghabiskan waktu di kampus.
"Tadi malam kau tidak membalas pesanku. Kau ke mana?" tanya Abdias.
"Kau mau ke kosan tadi malam? Maaf, aku sedang di rumah seorang teman," balasku.
Matanya memicing curiga. "Aku tidak pernah dengar kau punya teman yang lain."
"Hey, kau bukan pacarku yang seharusnya curiga kalau aku ke rumah seseorang."
Duduknya bergeser ke bangku sebelah untuk memberikan tempat bagiku.
"Sekarang, wanita mana yang kau dekati. Beritahu aku?" Ia merangkul pundakku. "Ini berita yang bagus. Sudah saatnya kau berpindah hati biar aku tidak lagi temukan anggur merah di sudut kamarmu."
"Bukan siapa-siapa, dia gadis yang tidak sengaja aku temukan sedang mencuri ikan di bendungan kampus."
Bibirnya mencibirku. "Kalimat yang hampir sama aku dengar waktu kau bertemu dengan mantanmu itu. Jujur, orangnya bagaimana?"
"Jika aku ceritakan, kau tidak akan mau bertemu dengannya. Dia tinggal di hutan di dekat bendungan sendirian. Sebetulnya dia senior kita di universitas ini, dia sudah tamat."
Wajah abdias terlihat antusias mendengarkan kalimatku.
"Kau bertemu Tarzan versi wanita?"
"Hmm ... bisa dibilang begitu. Orangnya tertutup, tapi akhir-akhir ini lebih banyak terbuka," balasku.
Abdias berdiri sembari membuang puntung rokoknya di atas asbak. "Kau tahu Grace Merry? Senior satu tingkat di atas kita. Dia mengajak kita untuk party di rumahnya."
Aku heran dengan nama tersebut karena sama sekali tidak pernah aku kenali.
"Apa hubungannya dia denganku? Aku tidak pernah mengenal wanita itu."
"Aku kenal dengannya. Dia tahu kalau aku punya sahabat yang selalu sendiri dan tidak punya teman, makanya Grace menitip undangan untukmu. Datanglah ... ajak Tarzan wanita itu ke sana. Nanti akan aku kirim lokasinya."