"Bawa saja mobil Ford pick-up milikku itu. Walaupun tua, setidaknya bisa melindungi kita dari hujan," pinta Rhea yang sedang mengeluarkan satu tangannya melalui bukaan kecil pintu kamar. Ia memberikanku sebuah kunci mobil.
Pikiran wanita terbuat dari kepingan puzzle yang tidak beraturan. Ia memandang segala sesuatu sebagai hal yang parsial, sehingga butuh waktu untuk membuatnya menjadi sempurna. Mereka memisahkan hal yang harusnya menjadi satu dan menyatukan apa yang seharusnya terpisah. Setidaknya itu yang aku pahami setelah sekian lama bersama Yuri, hingga pada akhirnya ia pergi dengan meninggalkan kepingannya padaku.
Begitu lama dan detail, aku memikirkan hal itu ketika menunggu Rhea sedang berias diri. James sedari tadi menunggu di luar pintu mobil dengan duduk meringkuh di atas tanah. Angin malam di dalam hutan ini membuatku dingin, tetapi aku enggan membuat mobil ini berbau asap rokok dengan menutup kacanya. Sungguh gelap, kecuali rumah kayu tingkat dengan pencahayaan lampu minyak di bagian depan. Ia hanya menyalakan generator ketika siang untuk keperluan penting saja, sedangkan malam ia lebih memilih energi alternatif.
Aku menoleh ke arah pintu yang berdecit ketika dibuka. Rhea keluar dengan gaun warna merah bermotif bunga berkelopak kuning. Ia berputar ketika aku pandangi dari dalam mobil, menyibakkan bawahan gaun selutut yang tersapu oleh angin. Aku berpikir sejenak, ia kontras dengan aroma retro klasik wanita di film-film eropa tahun 1950-an, terutama pada rambutnya yang ia ikat. Aku seperti melihat seorang nenek-nenek dengan kulit yang masih kencang.
"Aku seperti melihat seorang istri pejabat kolonial Belanda di pesta malam." Aku tersenyum memandangi penampilannya malam ini.
Ia hanya membalas dengan wajah datar. "Ini milik ibuku, ini buatan Rusia."
"Oh ya?" Aku terkejut mendengarnya. "Ibumu punya selera yang bagus di masa muda."
"Sebenarnya ibuku tidak suka, tetapi karena ayahku yang membelikannya dari sana, mau tidak mau ia harus memakainya ketika ada pesta dulu," balasnya.
"Ayahmu yang ke Rusia?"
Negeri itu sangatlah jauh. Orang yang beruntung jika pernah pergi ke sana.
"Benar ... ayahku pernah berkuliah di Rusia." Ia bertegak pinggang. "Apa kau tidak mau membukakan pintu untuk wanita yang kau ajak pergi pesta."
Mendengar kalimat itu, bulat sudah pandanganku jika ayahnya bukanlah orang biasa.
"Kecuali kau terlahir tidak punya tangan, akan aku bukakan pintu untukmu," balasku.
Wajahnya padam setelah itu.
"Kalimatmu terlalu gelap daripada hutan ini." Ia berjalan memutar untuk masuk ke mobil.
Sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Abdias, kami sampai sekitar setengah jam perjalanan kota. Kendaraan tua yang kadang mengangkut kayu bakar ini terparkir di antara mobil-mobil mewah. Ia berkata jika hanya akan tahan sebentar di dalam sana dan mengeluh tidak akan ada orang yang ia kenali. Aku pun menjawab hal yang sama, aku juga tidak mengenali orang-orang yang datang, kecuali Abdias sendiri. Mungkin, hanya aku dari kalangan anak tidak populer yang turut diundang oleh Merry.
Abdias menyambut kami di depan gerbang besar rumah mewah tersebut dan berkata jika kami merupakan pasangan yang dimaksud oleh Merry. Ya benar, kami sama sekali tidak memiliki undangan elektronik seperti yang lain.
"Hmm ... ini wanita yang kau maksud." Pandang mata Abdias beralih kepada Rhea. "Aku Abdias ... teman Mahatma."
"Hai ... senang berkelanan denganmu. Terima kasih sudah mau berteman dengan Mahatma," ucapnya dengan ringan. "Aku banyak mendengarmu darinya."
Kalimatnya sedikit membuatku memicing.
"Mari masuk ... nikmati apa yang bisa dinikmati."
"Kau bersikap seperti tuan rumah," sindirku.
"Merry yang memintaku untuk menjemput kalian." Abdias menoleh padaku. "Aku akan bergabung dengan yang lain. Kau bawa Rhea berkeliling. Oke?"
"That's okkay, terima kasih sudah mengundang kami berdua." Aku tersenyum padanya.
Satu hal pertama kali menginjakkan kaki di halaman belakang, aku bingung akan melakukan apa. Musik terlalu keras dibunyikan oleh seorang disk jokey di atas panggung. Terdapat banyak orang bergumul di beberapa titik, salah satunya ialah meja barista yang kelihatan sibuk melayani para undangan. Bunyi air pun bergemirik ketika seorang pasangan meloncat ke dalam kolam renang dan mereka tertawa satu sama lain. Keadaan dalam rumah turut tidak berbeda, tetapi lebih santai dengan orang-orang yang berbincang di dalam sana.